Minggu, 21 Oktober 2012

Alternatif Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran (BI SS 2012)



Perkelahian atau yang biasa disebut dengan tawuran, sering terjadi di antara pelajar bahkan pula sudah merambah pada kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa tawuran merupakan hal yang sangat wajar pada kenakalan para remaja. Sebab itu, tawuran pun sangat beragam mulai dari hal sepele sampai pada hal yang menjuruskan suatu tindakan bentrok antar pelajar.
Tawuran antar pelajar merupakan penyimpangan sosial yang berupa perkelahian. Penyimpangan sosial ini harus segera dicari solusinya agar tidak timbul perkelahian antar pelajar dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun dalam waktu setahun saja, sudah ada 14 pelajar di jabodetabek yang tewas mengenaskan gara-gara tawuran dan sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana agar kasus seperti ini diproses secara hukum yang berlaku dengan undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi para pelajar.
 Tidak hanya itu, pihak sekolah juga harus menunjukan sikap yang tegas kepada para pelajar yang ikut terlibat dalam tawuran yaitu berupa sangsi yang tegas.  Di lain pihak polisi juga ikut serta dalam berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem pencegahan kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah agar lebih efektif.
Pemberian sangsi selanjutnya, bisa dengan menurunkan status sekolah menjadi status sekolah biasa. Perlu adanya inovasi dari dinas pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi tawuran antar pelajar. Kalau perlu, tindakan tegas bagi institusi sekolah dan pelajar yang terlibat tawuran tersebut.
Tindakan tegas itu sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah pada tindakan kejahatan, bukan sekedar kenakalan remaja pada umumnya. Selama ini sekolah berkilah, bahwa terjadinya tawuran bukan sekedar merupakan tanggung jawab pihak sekolah melainkan terjadi di luar lingkungan sekolah dan jam sekolah. Padahal sangat jelas bahwa sekolah ikut serta bertanggung jawab kepada para pelajar yang terlibat pada aksi tawuran tersebut. Namun pada faktanya pihak sekolah tidak mau disalahkan akan terjadinya tawuran di lingkungan sekolah itu sendiri. Ini merupakan suatu contoh yang buruk bagi sistem pendidikan. 
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman mengatakan bahwa persoalan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. Persoalan tawuran ini baru dapat dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini yang ada. Winarini juga menambahkan bahwa pada masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutuskan mata rantai kekerasan kelompok.
Masa itu harus diisi oleh hal-hal yang produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada para siswa baru disekolah tersebut. Psikologi forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran yaitu psikologi para remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, para remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional dan tindakan sugestif.
Bagi saya bahwa kekerasan para pelajar sudah sangat memprihatinkan bahkan bisa menjadi ancaman dari berbagai pihak. Padahal pola antisipasi agar tidak terjadinya tawuran sudah dikoordinasikan dan sepertinya harus sangat diperlukan. Tawuran ini sendiri juga bisa dihindari dengan pola yang ditanamkan dari lingkungan keluarga bahkan dari lingkungan sekolah yang mengajarkan para murid untuk disiplin. Sangat jelas sekali bahwa dampak yang ditimbulkan oleh perkelahian antar pelajar itu sudah sangat merugikan banyak pihak. Maka dari itu, tindakan kekerasan pada pelajar harus di tindaklanjuti dan diberikan arahan agar para pelajar sadar bahwa tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang kriminal.
Dampak Perkelahian Pelajar
Yang pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif yaitu bila mengalami cedera atau bahkan tewas pada saat tawuran itu terjadi. Kedua, rusaknya beberapa fasilitas-fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko, kendaraan umum maupun pribadi. Ketiga, terganggunya proses belajar mengajar di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir adalah yang paling dikhawatirkan bagi para pendidik, yaitu berkurangnya penghargaan bagi para siswa terhadap toleransi antar sesama, perdamaian dan nilai-nilai pengendalian sosial pada orang lain. Pengendalian sosial dapat dilakukan melalui institusi atau non institusi, secara lisan, simbolik, dan melalui kekerasan atau biasa disebut pengendalian secara koersif, menggunakan hukuman atau imbalan dan secara formal dan informal. Sementara itu, pengendalian sosial dapat dilakukan melalui sosialisasi dan dapat dilakukan melalui tekanan sosial.  
Bagi para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, yaitu dengan perkelahian dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar mencapai suatu tujuan. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi pada jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak nyaman akibat yang ditimbulkan oleh tawuran tersebut.
Tinjauan Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi,  pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah terlebih dahulu harus dinilai kualitasnya dari segi pengajaran maupun segi mendidiknya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting dan juga guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan yang berlaku disekolah, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam  cara mendidik para siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang para remaja untuk belajar dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi tersebut.



Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran
 Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat mengatasi tawuran yaitu:
1.      Mengadakan seminar atau workshop yang diadakan di sekolah ataupun di lingkungan  universitas tentang cara mengatasi tawuran yang semakin marak terjadi di lingkungan sekitar
2.      Orang tua juga harus memberikan perhatian dan rasa kasih sayangnya pada anaknya dan memberikan bimbingan mengenai dampak dari tawuran
3.      Pihak sekolah harus berani dan tegas memberikan hukuman dan mendidik para siswanya untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang berjiwa kepemimpinan
4.      Pihak kepolisian juga sangat berperan penting dalam mengatasi tawuran di sebagian wilayah dengan memberikan beberapa penyuluhan pada setiap sekolah
5.      Memperbanyak kegiatan ekstrakulikuler di lingkungan sekolah, agar para pelajar banyak yang ikut serta
6.      Menurunkan status sekolah taraf Internasional menjadi sekolah bertaraf biasa
7.      Melakukan kegiatan positif selama berada dilingkungan sekolah
8.      Para pelajar selalu berinovasi untuk membuat sesuatu agar nama sekolah mereka terkenal dan tentunya membanggakan bagi sekolah tersebut
9.      Guru juga harus selalu memperhatikan para anak didiknya saat di dalam kelas maupun diluar kelas ketika sedang berlangsung proses kegiatan sekolah
10.  Kepala sekolah dan guru juga harus memeriksa tas dan alat-alat bawaan yang dibawa oleh anak muridnya sebelum memasuki lingkungan sekolah agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Semoga solusi ini dapat bermanfaat dan jangan sampai masalah tawuran ini terulang kembali dikemudian hari...
SUMBER:
Share on :
Show comments
Hide comments

2 comments:

Ace Max mengatakan...

penyebabnya karena, kurang Perhatian Orangtua, pihak sekolah, lingkungan main

hilda permatasari mengatakan...

kalo tawuran antar pelajar penyebab nya kurang perhatian ortu, pihak sekola, dan lingkungan bermain bagaimana dengan tawuran antar warga dan cara mengurangi tawuran antar warga itu ??? Terimakasih informasinya

ST3Telkom

Posting Komentar



Perkelahian atau yang biasa disebut dengan tawuran, sering terjadi di antara pelajar bahkan pula sudah merambah pada kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa tawuran merupakan hal yang sangat wajar pada kenakalan para remaja. Sebab itu, tawuran pun sangat beragam mulai dari hal sepele sampai pada hal yang menjuruskan suatu tindakan bentrok antar pelajar.
Tawuran antar pelajar merupakan penyimpangan sosial yang berupa perkelahian. Penyimpangan sosial ini harus segera dicari solusinya agar tidak timbul perkelahian antar pelajar dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun dalam waktu setahun saja, sudah ada 14 pelajar di jabodetabek yang tewas mengenaskan gara-gara tawuran dan sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana agar kasus seperti ini diproses secara hukum yang berlaku dengan undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi para pelajar.
 Tidak hanya itu, pihak sekolah juga harus menunjukan sikap yang tegas kepada para pelajar yang ikut terlibat dalam tawuran yaitu berupa sangsi yang tegas.  Di lain pihak polisi juga ikut serta dalam berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem pencegahan kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah agar lebih efektif.
Pemberian sangsi selanjutnya, bisa dengan menurunkan status sekolah menjadi status sekolah biasa. Perlu adanya inovasi dari dinas pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi tawuran antar pelajar. Kalau perlu, tindakan tegas bagi institusi sekolah dan pelajar yang terlibat tawuran tersebut.
Tindakan tegas itu sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah pada tindakan kejahatan, bukan sekedar kenakalan remaja pada umumnya. Selama ini sekolah berkilah, bahwa terjadinya tawuran bukan sekedar merupakan tanggung jawab pihak sekolah melainkan terjadi di luar lingkungan sekolah dan jam sekolah. Padahal sangat jelas bahwa sekolah ikut serta bertanggung jawab kepada para pelajar yang terlibat pada aksi tawuran tersebut. Namun pada faktanya pihak sekolah tidak mau disalahkan akan terjadinya tawuran di lingkungan sekolah itu sendiri. Ini merupakan suatu contoh yang buruk bagi sistem pendidikan. 
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman mengatakan bahwa persoalan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. Persoalan tawuran ini baru dapat dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini yang ada. Winarini juga menambahkan bahwa pada masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutuskan mata rantai kekerasan kelompok.
Masa itu harus diisi oleh hal-hal yang produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada para siswa baru disekolah tersebut. Psikologi forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran yaitu psikologi para remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, para remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional dan tindakan sugestif.
Bagi saya bahwa kekerasan para pelajar sudah sangat memprihatinkan bahkan bisa menjadi ancaman dari berbagai pihak. Padahal pola antisipasi agar tidak terjadinya tawuran sudah dikoordinasikan dan sepertinya harus sangat diperlukan. Tawuran ini sendiri juga bisa dihindari dengan pola yang ditanamkan dari lingkungan keluarga bahkan dari lingkungan sekolah yang mengajarkan para murid untuk disiplin. Sangat jelas sekali bahwa dampak yang ditimbulkan oleh perkelahian antar pelajar itu sudah sangat merugikan banyak pihak. Maka dari itu, tindakan kekerasan pada pelajar harus di tindaklanjuti dan diberikan arahan agar para pelajar sadar bahwa tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang kriminal.
Dampak Perkelahian Pelajar
Yang pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif yaitu bila mengalami cedera atau bahkan tewas pada saat tawuran itu terjadi. Kedua, rusaknya beberapa fasilitas-fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko, kendaraan umum maupun pribadi. Ketiga, terganggunya proses belajar mengajar di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir adalah yang paling dikhawatirkan bagi para pendidik, yaitu berkurangnya penghargaan bagi para siswa terhadap toleransi antar sesama, perdamaian dan nilai-nilai pengendalian sosial pada orang lain. Pengendalian sosial dapat dilakukan melalui institusi atau non institusi, secara lisan, simbolik, dan melalui kekerasan atau biasa disebut pengendalian secara koersif, menggunakan hukuman atau imbalan dan secara formal dan informal. Sementara itu, pengendalian sosial dapat dilakukan melalui sosialisasi dan dapat dilakukan melalui tekanan sosial.  
Bagi para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, yaitu dengan perkelahian dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar mencapai suatu tujuan. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi pada jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak nyaman akibat yang ditimbulkan oleh tawuran tersebut.
Tinjauan Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi,  pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah terlebih dahulu harus dinilai kualitasnya dari segi pengajaran maupun segi mendidiknya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting dan juga guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan yang berlaku disekolah, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam  cara mendidik para siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang para remaja untuk belajar dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi tersebut.



Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran
 Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat mengatasi tawuran yaitu:
1.      Mengadakan seminar atau workshop yang diadakan di sekolah ataupun di lingkungan  universitas tentang cara mengatasi tawuran yang semakin marak terjadi di lingkungan sekitar
2.      Orang tua juga harus memberikan perhatian dan rasa kasih sayangnya pada anaknya dan memberikan bimbingan mengenai dampak dari tawuran
3.      Pihak sekolah harus berani dan tegas memberikan hukuman dan mendidik para siswanya untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang berjiwa kepemimpinan
4.      Pihak kepolisian juga sangat berperan penting dalam mengatasi tawuran di sebagian wilayah dengan memberikan beberapa penyuluhan pada setiap sekolah
5.      Memperbanyak kegiatan ekstrakulikuler di lingkungan sekolah, agar para pelajar banyak yang ikut serta
6.      Menurunkan status sekolah taraf Internasional menjadi sekolah bertaraf biasa
7.      Melakukan kegiatan positif selama berada dilingkungan sekolah
8.      Para pelajar selalu berinovasi untuk membuat sesuatu agar nama sekolah mereka terkenal dan tentunya membanggakan bagi sekolah tersebut
9.      Guru juga harus selalu memperhatikan para anak didiknya saat di dalam kelas maupun diluar kelas ketika sedang berlangsung proses kegiatan sekolah
10.  Kepala sekolah dan guru juga harus memeriksa tas dan alat-alat bawaan yang dibawa oleh anak muridnya sebelum memasuki lingkungan sekolah agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Semoga solusi ini dapat bermanfaat dan jangan sampai masalah tawuran ini terulang kembali dikemudian hari...
SUMBER:



Perkelahian atau yang biasa disebut dengan tawuran, sering terjadi di antara pelajar bahkan pula sudah merambah pada kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa tawuran merupakan hal yang sangat wajar pada kenakalan para remaja. Sebab itu, tawuran pun sangat beragam mulai dari hal sepele sampai pada hal yang menjuruskan suatu tindakan bentrok antar pelajar.
Tawuran antar pelajar merupakan penyimpangan sosial yang berupa perkelahian. Penyimpangan sosial ini harus segera dicari solusinya agar tidak timbul perkelahian antar pelajar dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun dalam waktu setahun saja, sudah ada 14 pelajar di jabodetabek yang tewas mengenaskan gara-gara tawuran dan sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana agar kasus seperti ini diproses secara hukum yang berlaku dengan undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi para pelajar.
 Tidak hanya itu, pihak sekolah juga harus menunjukan sikap yang tegas kepada para pelajar yang ikut terlibat dalam tawuran yaitu berupa sangsi yang tegas.  Di lain pihak polisi juga ikut serta dalam berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem pencegahan kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah agar lebih efektif.
Pemberian sangsi selanjutnya, bisa dengan menurunkan status sekolah menjadi status sekolah biasa. Perlu adanya inovasi dari dinas pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi tawuran antar pelajar. Kalau perlu, tindakan tegas bagi institusi sekolah dan pelajar yang terlibat tawuran tersebut.
Tindakan tegas itu sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah pada tindakan kejahatan, bukan sekedar kenakalan remaja pada umumnya. Selama ini sekolah berkilah, bahwa terjadinya tawuran bukan sekedar merupakan tanggung jawab pihak sekolah melainkan terjadi di luar lingkungan sekolah dan jam sekolah. Padahal sangat jelas bahwa sekolah ikut serta bertanggung jawab kepada para pelajar yang terlibat pada aksi tawuran tersebut. Namun pada faktanya pihak sekolah tidak mau disalahkan akan terjadinya tawuran di lingkungan sekolah itu sendiri. Ini merupakan suatu contoh yang buruk bagi sistem pendidikan. 
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman mengatakan bahwa persoalan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. Persoalan tawuran ini baru dapat dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini yang ada. Winarini juga menambahkan bahwa pada masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutuskan mata rantai kekerasan kelompok.
Masa itu harus diisi oleh hal-hal yang produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada para siswa baru disekolah tersebut. Psikologi forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran yaitu psikologi para remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, para remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional dan tindakan sugestif.
Bagi saya bahwa kekerasan para pelajar sudah sangat memprihatinkan bahkan bisa menjadi ancaman dari berbagai pihak. Padahal pola antisipasi agar tidak terjadinya tawuran sudah dikoordinasikan dan sepertinya harus sangat diperlukan. Tawuran ini sendiri juga bisa dihindari dengan pola yang ditanamkan dari lingkungan keluarga bahkan dari lingkungan sekolah yang mengajarkan para murid untuk disiplin. Sangat jelas sekali bahwa dampak yang ditimbulkan oleh perkelahian antar pelajar itu sudah sangat merugikan banyak pihak. Maka dari itu, tindakan kekerasan pada pelajar harus di tindaklanjuti dan diberikan arahan agar para pelajar sadar bahwa tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang kriminal.
Dampak Perkelahian Pelajar
Yang pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif yaitu bila mengalami cedera atau bahkan tewas pada saat tawuran itu terjadi. Kedua, rusaknya beberapa fasilitas-fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko, kendaraan umum maupun pribadi. Ketiga, terganggunya proses belajar mengajar di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir adalah yang paling dikhawatirkan bagi para pendidik, yaitu berkurangnya penghargaan bagi para siswa terhadap toleransi antar sesama, perdamaian dan nilai-nilai pengendalian sosial pada orang lain. Pengendalian sosial dapat dilakukan melalui institusi atau non institusi, secara lisan, simbolik, dan melalui kekerasan atau biasa disebut pengendalian secara koersif, menggunakan hukuman atau imbalan dan secara formal dan informal. Sementara itu, pengendalian sosial dapat dilakukan melalui sosialisasi dan dapat dilakukan melalui tekanan sosial.  
Bagi para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, yaitu dengan perkelahian dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar mencapai suatu tujuan. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi pada jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak nyaman akibat yang ditimbulkan oleh tawuran tersebut.
Tinjauan Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi,  pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah terlebih dahulu harus dinilai kualitasnya dari segi pengajaran maupun segi mendidiknya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting dan juga guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan yang berlaku disekolah, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam  cara mendidik para siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang para remaja untuk belajar dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi tersebut.



Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran
 Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat mengatasi tawuran yaitu:
1.      Mengadakan seminar atau workshop yang diadakan di sekolah ataupun di lingkungan  universitas tentang cara mengatasi tawuran yang semakin marak terjadi di lingkungan sekitar
2.      Orang tua juga harus memberikan perhatian dan rasa kasih sayangnya pada anaknya dan memberikan bimbingan mengenai dampak dari tawuran
3.      Pihak sekolah harus berani dan tegas memberikan hukuman dan mendidik para siswanya untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang berjiwa kepemimpinan
4.      Pihak kepolisian juga sangat berperan penting dalam mengatasi tawuran di sebagian wilayah dengan memberikan beberapa penyuluhan pada setiap sekolah
5.      Memperbanyak kegiatan ekstrakulikuler di lingkungan sekolah, agar para pelajar banyak yang ikut serta
6.      Menurunkan status sekolah taraf Internasional menjadi sekolah bertaraf biasa
7.      Melakukan kegiatan positif selama berada dilingkungan sekolah
8.      Para pelajar selalu berinovasi untuk membuat sesuatu agar nama sekolah mereka terkenal dan tentunya membanggakan bagi sekolah tersebut
9.      Guru juga harus selalu memperhatikan para anak didiknya saat di dalam kelas maupun diluar kelas ketika sedang berlangsung proses kegiatan sekolah
10.  Kepala sekolah dan guru juga harus memeriksa tas dan alat-alat bawaan yang dibawa oleh anak muridnya sebelum memasuki lingkungan sekolah agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Semoga solusi ini dapat bermanfaat dan jangan sampai masalah tawuran ini terulang kembali dikemudian hari...
SUMBER:



Perkelahian atau yang biasa disebut dengan tawuran, sering terjadi di antara pelajar bahkan pula sudah merambah pada kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa tawuran merupakan hal yang sangat wajar pada kenakalan para remaja. Sebab itu, tawuran pun sangat beragam mulai dari hal sepele sampai pada hal yang menjuruskan suatu tindakan bentrok antar pelajar.
Tawuran antar pelajar merupakan penyimpangan sosial yang berupa perkelahian. Penyimpangan sosial ini harus segera dicari solusinya agar tidak timbul perkelahian antar pelajar dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun dalam waktu setahun saja, sudah ada 14 pelajar di jabodetabek yang tewas mengenaskan gara-gara tawuran dan sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana agar kasus seperti ini diproses secara hukum yang berlaku dengan undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi para pelajar.
 Tidak hanya itu, pihak sekolah juga harus menunjukan sikap yang tegas kepada para pelajar yang ikut terlibat dalam tawuran yaitu berupa sangsi yang tegas.  Di lain pihak polisi juga ikut serta dalam berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem pencegahan kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah agar lebih efektif.
Pemberian sangsi selanjutnya, bisa dengan menurunkan status sekolah menjadi status sekolah biasa. Perlu adanya inovasi dari dinas pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi tawuran antar pelajar. Kalau perlu, tindakan tegas bagi institusi sekolah dan pelajar yang terlibat tawuran tersebut.
Tindakan tegas itu sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah pada tindakan kejahatan, bukan sekedar kenakalan remaja pada umumnya. Selama ini sekolah berkilah, bahwa terjadinya tawuran bukan sekedar merupakan tanggung jawab pihak sekolah melainkan terjadi di luar lingkungan sekolah dan jam sekolah. Padahal sangat jelas bahwa sekolah ikut serta bertanggung jawab kepada para pelajar yang terlibat pada aksi tawuran tersebut. Namun pada faktanya pihak sekolah tidak mau disalahkan akan terjadinya tawuran di lingkungan sekolah itu sendiri. Ini merupakan suatu contoh yang buruk bagi sistem pendidikan. 
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman mengatakan bahwa persoalan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. Persoalan tawuran ini baru dapat dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini yang ada. Winarini juga menambahkan bahwa pada masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutuskan mata rantai kekerasan kelompok.
Masa itu harus diisi oleh hal-hal yang produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada para siswa baru disekolah tersebut. Psikologi forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran yaitu psikologi para remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, para remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional dan tindakan sugestif.
Bagi saya bahwa kekerasan para pelajar sudah sangat memprihatinkan bahkan bisa menjadi ancaman dari berbagai pihak. Padahal pola antisipasi agar tidak terjadinya tawuran sudah dikoordinasikan dan sepertinya harus sangat diperlukan. Tawuran ini sendiri juga bisa dihindari dengan pola yang ditanamkan dari lingkungan keluarga bahkan dari lingkungan sekolah yang mengajarkan para murid untuk disiplin. Sangat jelas sekali bahwa dampak yang ditimbulkan oleh perkelahian antar pelajar itu sudah sangat merugikan banyak pihak. Maka dari itu, tindakan kekerasan pada pelajar harus di tindaklanjuti dan diberikan arahan agar para pelajar sadar bahwa tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang kriminal.
Dampak Perkelahian Pelajar
Yang pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif yaitu bila mengalami cedera atau bahkan tewas pada saat tawuran itu terjadi. Kedua, rusaknya beberapa fasilitas-fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko, kendaraan umum maupun pribadi. Ketiga, terganggunya proses belajar mengajar di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir adalah yang paling dikhawatirkan bagi para pendidik, yaitu berkurangnya penghargaan bagi para siswa terhadap toleransi antar sesama, perdamaian dan nilai-nilai pengendalian sosial pada orang lain. Pengendalian sosial dapat dilakukan melalui institusi atau non institusi, secara lisan, simbolik, dan melalui kekerasan atau biasa disebut pengendalian secara koersif, menggunakan hukuman atau imbalan dan secara formal dan informal. Sementara itu, pengendalian sosial dapat dilakukan melalui sosialisasi dan dapat dilakukan melalui tekanan sosial.  
Bagi para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, yaitu dengan perkelahian dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar mencapai suatu tujuan. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi pada jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan kehidupan bermasyarakat menjadi tidak nyaman akibat yang ditimbulkan oleh tawuran tersebut.
Tinjauan Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Akan tetapi,  pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah terlebih dahulu harus dinilai kualitasnya dari segi pengajaran maupun segi mendidiknya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting dan juga guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan yang berlaku disekolah, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam  cara mendidik para siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang para remaja untuk belajar dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi tersebut.



Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran
 Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat mengatasi tawuran yaitu:
1.      Mengadakan seminar atau workshop yang diadakan di sekolah ataupun di lingkungan  universitas tentang cara mengatasi tawuran yang semakin marak terjadi di lingkungan sekitar
2.      Orang tua juga harus memberikan perhatian dan rasa kasih sayangnya pada anaknya dan memberikan bimbingan mengenai dampak dari tawuran
3.      Pihak sekolah harus berani dan tegas memberikan hukuman dan mendidik para siswanya untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang berjiwa kepemimpinan
4.      Pihak kepolisian juga sangat berperan penting dalam mengatasi tawuran di sebagian wilayah dengan memberikan beberapa penyuluhan pada setiap sekolah
5.      Memperbanyak kegiatan ekstrakulikuler di lingkungan sekolah, agar para pelajar banyak yang ikut serta
6.      Menurunkan status sekolah taraf Internasional menjadi sekolah bertaraf biasa
7.      Melakukan kegiatan positif selama berada dilingkungan sekolah
8.      Para pelajar selalu berinovasi untuk membuat sesuatu agar nama sekolah mereka terkenal dan tentunya membanggakan bagi sekolah tersebut
9.      Guru juga harus selalu memperhatikan para anak didiknya saat di dalam kelas maupun diluar kelas ketika sedang berlangsung proses kegiatan sekolah
10.  Kepala sekolah dan guru juga harus memeriksa tas dan alat-alat bawaan yang dibawa oleh anak muridnya sebelum memasuki lingkungan sekolah agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Semoga solusi ini dapat bermanfaat dan jangan sampai masalah tawuran ini terulang kembali dikemudian hari...
SUMBER: