Minggu, 12 Mei 2013

Ketidakpastian Bbm Bersubsidi (Bi Ss 2013)



Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kembali melempar bola panas subsidi bahan bakar minyak ke parlemen. Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, di Jakarta Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika dana kompensasi disetujui oleh DPR.
Rencana dana kompensasi itu disusun dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan 2013 yang akan dibahas dengan DPR  pada bulan Mei ini. Kompensasi kenaikan harga BBM akan berupa beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai.
Hal ini berarti realisasi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terancam mundur dan bakal melalui pembahasan yang alot. Menjelang Pemilu 2014, politisi akan berlomba menunjukkaa keberpihakan kepada rakyat dengan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Usulan dana kompensasi, khususnya bantuan langsung tunai, juga bakal ditentang karena menguntungkan partai berkuasa.
Tahun lalu, pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi karena tak disetujui oleh DPR. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan baru, yaitu penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi tidak memakai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah gagal menciptakan mekanisme efektif yang memaksa masyarakat mampu tidaknya mengonsumsi BBM bersubsidi. Terbukti kebijakan pemerintah menimbulkan banyak masalah di lapangan karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah.  
Kini, sesuai dengan Undang-Undang APBN 2013, wewenang menaikkan harga BBM ada pada pemerintah. Sayangnya, makin dekat dengan waktu yang ideal pelaksanaan kenaikan harga BBM pada Mei ini, Presiden justru kian ragu untuk mengambil sebuah keputusan tidak populis dan masih akan berkonsultasi dengan pihak anggota DPR.
Sebelumnya, pemerintah melontarkan rencana pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi BBM pada bulan Mei ini. Produk premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan BBM bersubsidi dengan harga baru yang lebih tinggi daripada Rp 4.500 per liter untuk kendaraan berpelat nomor hitam.
Belakangan pemerintah berubah haluan dan berniat membatalkan pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi dengan dalih kebijakan itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan dan rawan penyelewengan. Opsi yang kini mengemuka adalah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk semua kendaraan dengan syarat dana kompensasinya disetujui oleh DPR.
Berlarutnya pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memicu pembelian solar bersubsidi berlebihan demi meraup untung. Hingga triwulan pertama 2013, penyaluran solar melebihi kuota hingga 5,2 persen. Kelangkaan solar bersubsidi pun terjadi di sejumlah daerah karena kuotanya habis.
Konsumsi BBM yang tidak terkendali akan berdampak terhadap membengkaknya subsidi. Dalam APBN 2013 nilai subsidi total Rp 361,1 triliun, sedangkan seubsidi BBM Rp 193,8 triliun dengan kuota BBM menyentuh Rp 297,7 triliun dan defisit mencapai Rp 353,6 triliun atau sekitar 3,83 persen dari produk domestik bruto.
Selama 9 tahun terakhir, hampir selalu subsidi BBM lebih besar dari pada nilai defisit APBN. Hanya pada tahun 2009 subsidi BBM lebih kecil daripada defisit. Selama ini, defisit APBN ditutup dengan utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Berarti secara tidak langsung subsidi BBM dibiayai utang oleh pemerintah.
Karena harga barang naik dan jasa naik, sementara harga nominal BBM disandera selama bertahun-tahun, harga relatif turun tajam. Akibatnya, permintaan terhadap BBM  naik melampaui pola normalnya sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Di sisi lain, produksi minyak mentah terus turun hinggab sekitar 840.000 barrel tiap harinya. Akibatnya, impor BBM dan harga minyak mentah untuk kebutuhan di dalam negeri terus naik.
Untuk keluar dari jerat subsidi BBM, kuncinya ada pada kepemimpinan yang berani untuk mengambil keputusan meski tidak populis. Dengan kewenangan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah semestinya tidak lagi berubah-ubah dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM.

Sumber :
 
Share on :
Show comments
Hide comments

0 comments:

Posting Komentar



Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kembali melempar bola panas subsidi bahan bakar minyak ke parlemen. Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, di Jakarta Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika dana kompensasi disetujui oleh DPR.
Rencana dana kompensasi itu disusun dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan 2013 yang akan dibahas dengan DPR  pada bulan Mei ini. Kompensasi kenaikan harga BBM akan berupa beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai.
Hal ini berarti realisasi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terancam mundur dan bakal melalui pembahasan yang alot. Menjelang Pemilu 2014, politisi akan berlomba menunjukkaa keberpihakan kepada rakyat dengan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Usulan dana kompensasi, khususnya bantuan langsung tunai, juga bakal ditentang karena menguntungkan partai berkuasa.
Tahun lalu, pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi karena tak disetujui oleh DPR. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan baru, yaitu penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi tidak memakai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah gagal menciptakan mekanisme efektif yang memaksa masyarakat mampu tidaknya mengonsumsi BBM bersubsidi. Terbukti kebijakan pemerintah menimbulkan banyak masalah di lapangan karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah.  
Kini, sesuai dengan Undang-Undang APBN 2013, wewenang menaikkan harga BBM ada pada pemerintah. Sayangnya, makin dekat dengan waktu yang ideal pelaksanaan kenaikan harga BBM pada Mei ini, Presiden justru kian ragu untuk mengambil sebuah keputusan tidak populis dan masih akan berkonsultasi dengan pihak anggota DPR.
Sebelumnya, pemerintah melontarkan rencana pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi BBM pada bulan Mei ini. Produk premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan BBM bersubsidi dengan harga baru yang lebih tinggi daripada Rp 4.500 per liter untuk kendaraan berpelat nomor hitam.
Belakangan pemerintah berubah haluan dan berniat membatalkan pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi dengan dalih kebijakan itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan dan rawan penyelewengan. Opsi yang kini mengemuka adalah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk semua kendaraan dengan syarat dana kompensasinya disetujui oleh DPR.
Berlarutnya pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memicu pembelian solar bersubsidi berlebihan demi meraup untung. Hingga triwulan pertama 2013, penyaluran solar melebihi kuota hingga 5,2 persen. Kelangkaan solar bersubsidi pun terjadi di sejumlah daerah karena kuotanya habis.
Konsumsi BBM yang tidak terkendali akan berdampak terhadap membengkaknya subsidi. Dalam APBN 2013 nilai subsidi total Rp 361,1 triliun, sedangkan seubsidi BBM Rp 193,8 triliun dengan kuota BBM menyentuh Rp 297,7 triliun dan defisit mencapai Rp 353,6 triliun atau sekitar 3,83 persen dari produk domestik bruto.
Selama 9 tahun terakhir, hampir selalu subsidi BBM lebih besar dari pada nilai defisit APBN. Hanya pada tahun 2009 subsidi BBM lebih kecil daripada defisit. Selama ini, defisit APBN ditutup dengan utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Berarti secara tidak langsung subsidi BBM dibiayai utang oleh pemerintah.
Karena harga barang naik dan jasa naik, sementara harga nominal BBM disandera selama bertahun-tahun, harga relatif turun tajam. Akibatnya, permintaan terhadap BBM  naik melampaui pola normalnya sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Di sisi lain, produksi minyak mentah terus turun hinggab sekitar 840.000 barrel tiap harinya. Akibatnya, impor BBM dan harga minyak mentah untuk kebutuhan di dalam negeri terus naik.
Untuk keluar dari jerat subsidi BBM, kuncinya ada pada kepemimpinan yang berani untuk mengambil keputusan meski tidak populis. Dengan kewenangan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah semestinya tidak lagi berubah-ubah dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM.

Sumber :
 



Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kembali melempar bola panas subsidi bahan bakar minyak ke parlemen. Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, di Jakarta Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika dana kompensasi disetujui oleh DPR.
Rencana dana kompensasi itu disusun dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan 2013 yang akan dibahas dengan DPR  pada bulan Mei ini. Kompensasi kenaikan harga BBM akan berupa beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai.
Hal ini berarti realisasi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terancam mundur dan bakal melalui pembahasan yang alot. Menjelang Pemilu 2014, politisi akan berlomba menunjukkaa keberpihakan kepada rakyat dengan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Usulan dana kompensasi, khususnya bantuan langsung tunai, juga bakal ditentang karena menguntungkan partai berkuasa.
Tahun lalu, pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi karena tak disetujui oleh DPR. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan baru, yaitu penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi tidak memakai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah gagal menciptakan mekanisme efektif yang memaksa masyarakat mampu tidaknya mengonsumsi BBM bersubsidi. Terbukti kebijakan pemerintah menimbulkan banyak masalah di lapangan karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah.  
Kini, sesuai dengan Undang-Undang APBN 2013, wewenang menaikkan harga BBM ada pada pemerintah. Sayangnya, makin dekat dengan waktu yang ideal pelaksanaan kenaikan harga BBM pada Mei ini, Presiden justru kian ragu untuk mengambil sebuah keputusan tidak populis dan masih akan berkonsultasi dengan pihak anggota DPR.
Sebelumnya, pemerintah melontarkan rencana pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi BBM pada bulan Mei ini. Produk premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan BBM bersubsidi dengan harga baru yang lebih tinggi daripada Rp 4.500 per liter untuk kendaraan berpelat nomor hitam.
Belakangan pemerintah berubah haluan dan berniat membatalkan pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi dengan dalih kebijakan itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan dan rawan penyelewengan. Opsi yang kini mengemuka adalah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk semua kendaraan dengan syarat dana kompensasinya disetujui oleh DPR.
Berlarutnya pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memicu pembelian solar bersubsidi berlebihan demi meraup untung. Hingga triwulan pertama 2013, penyaluran solar melebihi kuota hingga 5,2 persen. Kelangkaan solar bersubsidi pun terjadi di sejumlah daerah karena kuotanya habis.
Konsumsi BBM yang tidak terkendali akan berdampak terhadap membengkaknya subsidi. Dalam APBN 2013 nilai subsidi total Rp 361,1 triliun, sedangkan seubsidi BBM Rp 193,8 triliun dengan kuota BBM menyentuh Rp 297,7 triliun dan defisit mencapai Rp 353,6 triliun atau sekitar 3,83 persen dari produk domestik bruto.
Selama 9 tahun terakhir, hampir selalu subsidi BBM lebih besar dari pada nilai defisit APBN. Hanya pada tahun 2009 subsidi BBM lebih kecil daripada defisit. Selama ini, defisit APBN ditutup dengan utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Berarti secara tidak langsung subsidi BBM dibiayai utang oleh pemerintah.
Karena harga barang naik dan jasa naik, sementara harga nominal BBM disandera selama bertahun-tahun, harga relatif turun tajam. Akibatnya, permintaan terhadap BBM  naik melampaui pola normalnya sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Di sisi lain, produksi minyak mentah terus turun hinggab sekitar 840.000 barrel tiap harinya. Akibatnya, impor BBM dan harga minyak mentah untuk kebutuhan di dalam negeri terus naik.
Untuk keluar dari jerat subsidi BBM, kuncinya ada pada kepemimpinan yang berani untuk mengambil keputusan meski tidak populis. Dengan kewenangan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah semestinya tidak lagi berubah-ubah dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM.

Sumber :
 



Presiden Bambang Susilo Yudhoyono kembali melempar bola panas subsidi bahan bakar minyak ke parlemen. Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, di Jakarta Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika dana kompensasi disetujui oleh DPR.
Rencana dana kompensasi itu disusun dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan 2013 yang akan dibahas dengan DPR  pada bulan Mei ini. Kompensasi kenaikan harga BBM akan berupa beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai.
Hal ini berarti realisasi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terancam mundur dan bakal melalui pembahasan yang alot. Menjelang Pemilu 2014, politisi akan berlomba menunjukkaa keberpihakan kepada rakyat dengan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Usulan dana kompensasi, khususnya bantuan langsung tunai, juga bakal ditentang karena menguntungkan partai berkuasa.
Tahun lalu, pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi karena tak disetujui oleh DPR. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan baru, yaitu penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi tidak memakai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah gagal menciptakan mekanisme efektif yang memaksa masyarakat mampu tidaknya mengonsumsi BBM bersubsidi. Terbukti kebijakan pemerintah menimbulkan banyak masalah di lapangan karena tidak adanya pengawasan dari pemerintah.  
Kini, sesuai dengan Undang-Undang APBN 2013, wewenang menaikkan harga BBM ada pada pemerintah. Sayangnya, makin dekat dengan waktu yang ideal pelaksanaan kenaikan harga BBM pada Mei ini, Presiden justru kian ragu untuk mengambil sebuah keputusan tidak populis dan masih akan berkonsultasi dengan pihak anggota DPR.
Sebelumnya, pemerintah melontarkan rencana pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi BBM pada bulan Mei ini. Produk premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan BBM bersubsidi dengan harga baru yang lebih tinggi daripada Rp 4.500 per liter untuk kendaraan berpelat nomor hitam.
Belakangan pemerintah berubah haluan dan berniat membatalkan pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi dengan dalih kebijakan itu sangat sulit dilaksanakan di lapangan dan rawan penyelewengan. Opsi yang kini mengemuka adalah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk semua kendaraan dengan syarat dana kompensasinya disetujui oleh DPR.
Berlarutnya pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memicu pembelian solar bersubsidi berlebihan demi meraup untung. Hingga triwulan pertama 2013, penyaluran solar melebihi kuota hingga 5,2 persen. Kelangkaan solar bersubsidi pun terjadi di sejumlah daerah karena kuotanya habis.
Konsumsi BBM yang tidak terkendali akan berdampak terhadap membengkaknya subsidi. Dalam APBN 2013 nilai subsidi total Rp 361,1 triliun, sedangkan seubsidi BBM Rp 193,8 triliun dengan kuota BBM menyentuh Rp 297,7 triliun dan defisit mencapai Rp 353,6 triliun atau sekitar 3,83 persen dari produk domestik bruto.
Selama 9 tahun terakhir, hampir selalu subsidi BBM lebih besar dari pada nilai defisit APBN. Hanya pada tahun 2009 subsidi BBM lebih kecil daripada defisit. Selama ini, defisit APBN ditutup dengan utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Berarti secara tidak langsung subsidi BBM dibiayai utang oleh pemerintah.
Karena harga barang naik dan jasa naik, sementara harga nominal BBM disandera selama bertahun-tahun, harga relatif turun tajam. Akibatnya, permintaan terhadap BBM  naik melampaui pola normalnya sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Di sisi lain, produksi minyak mentah terus turun hinggab sekitar 840.000 barrel tiap harinya. Akibatnya, impor BBM dan harga minyak mentah untuk kebutuhan di dalam negeri terus naik.
Untuk keluar dari jerat subsidi BBM, kuncinya ada pada kepemimpinan yang berani untuk mengambil keputusan meski tidak populis. Dengan kewenangan untuk menaikkan harga BBM, pemerintah semestinya tidak lagi berubah-ubah dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM.

Sumber :