Perkelahian atau yang biasa disebut dengan tawuran, sering terjadi
di antara pelajar bahkan pula sudah merambah pada kampus-kampus. Ada yang
mengatakan bahwa tawuran merupakan hal yang sangat wajar pada kenakalan para remaja.
Sebab itu, tawuran pun sangat beragam mulai dari hal sepele sampai pada hal
yang menjuruskan suatu tindakan bentrok antar pelajar.
Tawuran antar pelajar merupakan penyimpangan sosial yang berupa
perkelahian. Penyimpangan sosial ini harus segera dicari solusinya agar tidak
timbul perkelahian antar pelajar dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun dalam
waktu setahun saja, sudah ada 14 pelajar di jabodetabek yang tewas mengenaskan gara-gara
tawuran dan sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana agar kasus seperti
ini diproses secara hukum yang berlaku dengan undang-undang sehingga memberikan
efek jera bagi para pelajar.
Tidak hanya itu, pihak
sekolah juga harus menunjukan sikap yang tegas kepada para pelajar yang ikut terlibat
dalam tawuran yaitu berupa sangsi yang tegas. Di lain pihak polisi juga ikut serta dalam
berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem
pencegahan kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan sekolah agar lebih
efektif.
Pemberian sangsi selanjutnya, bisa dengan menurunkan status
sekolah menjadi status sekolah biasa. Perlu adanya inovasi dari dinas
pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi tawuran antar pelajar. Kalau perlu,
tindakan tegas bagi institusi sekolah dan pelajar yang terlibat tawuran
tersebut.
Tindakan tegas itu sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah
pada tindakan kejahatan, bukan sekedar kenakalan remaja pada umumnya. Selama
ini sekolah berkilah, bahwa terjadinya tawuran bukan sekedar merupakan tanggung
jawab pihak sekolah melainkan terjadi di luar lingkungan sekolah dan jam
sekolah. Padahal sangat jelas bahwa sekolah ikut serta bertanggung jawab kepada
para pelajar yang terlibat pada aksi tawuran tersebut. Namun pada faktanya
pihak sekolah tidak mau disalahkan akan terjadinya tawuran di lingkungan
sekolah itu sendiri. Ini merupakan suatu contoh yang buruk bagi sistem
pendidikan.
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman mengatakan
bahwa persoalan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan penanganannya
belum banyak beranjak. Persoalan tawuran ini baru dapat dilihat sebatas masalah
lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua
elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini yang ada.
Winarini juga menambahkan bahwa pada masa orientasi sekolah menjadi masa paling
krusial untuk memutuskan mata rantai kekerasan kelompok.
Masa itu harus diisi oleh hal-hal yang produktif karena masa
orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan
kepada para siswa baru disekolah tersebut. Psikologi forensik yang juga Kepala
Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif
dalam kasus tawuran yaitu psikologi para remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak-anak
menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya
individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, para remaja
mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan
irasional dan tindakan sugestif.
Bagi saya bahwa kekerasan para pelajar sudah sangat memprihatinkan
bahkan bisa menjadi ancaman dari berbagai pihak. Padahal pola antisipasi agar
tidak terjadinya tawuran sudah dikoordinasikan dan sepertinya harus sangat
diperlukan. Tawuran ini sendiri juga bisa dihindari dengan pola yang ditanamkan
dari lingkungan keluarga bahkan dari lingkungan sekolah yang mengajarkan para
murid untuk disiplin. Sangat jelas sekali bahwa dampak yang ditimbulkan oleh
perkelahian antar pelajar itu sudah sangat merugikan banyak pihak. Maka dari
itu, tindakan kekerasan pada pelajar harus di tindaklanjuti dan diberikan arahan
agar para pelajar sadar bahwa tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang
kriminal.
Dampak
Perkelahian Pelajar
Yang pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian
jelas mengalami dampak negatif yaitu bila mengalami cedera atau bahkan tewas
pada saat tawuran itu terjadi. Kedua, rusaknya beberapa fasilitas-fasilitas
umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti
kaca toko, kendaraan umum maupun pribadi. Ketiga, terganggunya proses belajar mengajar
di lingkungan sekolah. Dan yang terakhir adalah yang paling dikhawatirkan bagi
para pendidik, yaitu berkurangnya penghargaan bagi para siswa terhadap
toleransi antar sesama, perdamaian dan nilai-nilai pengendalian sosial pada orang
lain. Pengendalian sosial dapat dilakukan melalui institusi atau non institusi,
secara lisan, simbolik, dan melalui kekerasan atau biasa disebut pengendalian
secara koersif, menggunakan hukuman atau imbalan dan secara formal dan
informal. Sementara itu, pengendalian sosial dapat dilakukan melalui
sosialisasi dan dapat dilakukan melalui tekanan sosial.
Bagi para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang
paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, yaitu dengan perkelahian dan
karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar mencapai suatu tujuan. Akibat
yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi pada jangka panjang terhadap
kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan kehidupan bermasyarakat
menjadi tidak nyaman akibat yang ditimbulkan oleh tawuran tersebut.
Tinjauan
Psikologi Penyebab Remaja Terlibat Perkelahian Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi
antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau
tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian
pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa
seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang
terlibat aksi perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada
lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti keanekaragaman pandangan,
budaya, tingkat ekonomi, dan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan
banyak. Akan tetapi, pada remaja yang
terlibat perkelahian, mereka kurang mampu mengatasi, apalagi memanfaatkan
situasi untuk pengembangan diri mereka sendiri. Mereka biasanya mudah putus
asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada
setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan
masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami
konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap
perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka
biasanya sangat membutuhkan pengakuan dan perhatian khusus dari orang-orang
yang ada disekitarnya.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga
yang dipenuhi dengan kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas
berdampak buruk pada kondisi lahir maupun batin pada seorang anak. Ketika
meningkat menjadi seorang remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari
dalam dirinya, dan merupakan hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh menjadi sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani untuk
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian
dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah terlebih
dahulu harus dinilai kualitasnya dari segi pengajaran maupun segi mendidiknya.
Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar
akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting dan juga guru lebih berperan sebagai penghukum
dan pelaksana aturan yang berlaku disekolah, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam cara mendidik para siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan
di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak
terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan
kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Juga
lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang
para remaja untuk belajar dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional
yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi tersebut.
Solusi Mengurangi Frekuensi Tawuran
Berikut ini adalah beberapa
solusi yang dapat mengatasi tawuran yaitu:
1. Mengadakan
seminar atau workshop yang diadakan di sekolah ataupun di lingkungan universitas tentang cara mengatasi tawuran
yang semakin marak terjadi di lingkungan sekitar
2. Orang tua juga
harus memberikan perhatian dan rasa kasih sayangnya pada anaknya dan memberikan
bimbingan mengenai dampak dari tawuran
3. Pihak sekolah
harus berani dan tegas memberikan hukuman dan mendidik para siswanya untuk
mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang berjiwa kepemimpinan
4. Pihak
kepolisian juga sangat berperan penting dalam mengatasi tawuran di sebagian
wilayah dengan memberikan beberapa penyuluhan pada setiap sekolah
5. Memperbanyak
kegiatan ekstrakulikuler di lingkungan sekolah, agar para pelajar banyak yang
ikut serta
6. Menurunkan
status sekolah taraf Internasional menjadi sekolah bertaraf biasa
7. Melakukan
kegiatan positif selama berada dilingkungan sekolah
8. Para pelajar
selalu berinovasi untuk membuat sesuatu agar nama sekolah mereka terkenal dan
tentunya membanggakan bagi sekolah tersebut
9. Guru juga
harus selalu memperhatikan para anak didiknya saat di dalam kelas maupun diluar
kelas ketika sedang berlangsung proses kegiatan sekolah
10. Kepala
sekolah dan guru juga harus memeriksa tas dan alat-alat bawaan yang dibawa oleh
anak muridnya sebelum memasuki lingkungan sekolah agar tidak terjadi masalah
yang tidak diinginkan oleh semua pihak.
Semoga solusi ini dapat bermanfaat dan jangan sampai masalah
tawuran ini terulang kembali dikemudian hari...
SUMBER: