Penerapan
sistem outsourching selama ini menempatkan pada posisi pekerja yang tidak
dilindungi dan dapat di PHK tanpa alasan dan juga tanpa pesangon yang memadai
setelah masa kontrak kerja mereka berakhir. Padahal, secara hukum sebenarnya outsourcing, tidak
mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika pun terjadi pengabaian hak-hak
terhadap para buruh dalam praktik outsourcing, itu
merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman mengenai
outsourching ini terhadap ruang lingkup dunia kerja semakin dapat manfaat dari
bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian
diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang
lebih proporsional. Sebab, bisnis outsourcing bukan
saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan yang berasal dari
pemerintah. Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang
jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat
dalam dunia bisnis dan pemerintahan.
Ruang
lingkup
Undang-undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan yang terjadi di
dalam hubungan perburuhan. Salah satunya perubahan yang cukup penting adalah di
izinkannya praktek outsourcing. Outsourching adalah suatu bentuk
hubungan kerja sama yang termasuk dalam
kategori Precarious Work, istilah ini biasanya dipakai secara
internasional untuk menunjukan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu yang dibatasi , pekerja lepas, tidak terjamin
dan tidak pasti. Praktek seperti ini sepintas terlihat wajar namun mendorong
akan terjadinya eksploitasi buruh yang cukup parah. Sayangnya praktek outsourcing
ini tidak di imbangi dengan pengawasan-pengawasan yang ketat yang
seharusnya pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para buruh. Tuntutan
utama para buruh adalah menghapus sistem alih daya dan menolak upah
murah/minimum.
Hubungan kerja
kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah sebuah praktek dunia kerja
dalam hal berbisnis. Namun di Indonesia dan lebih banyak di negara lainnya,
praktek ini membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan
eksploitatif terhadap buruh di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi
pengawasan oleh Disnakertans dalam kerangka Otonomi Daerah. Tentu saja
persoalan ini tidak berdiri sendiri melainkan
situasi ini harus segera dipahami dalam rangka hubungan industrial yang
lebih luas dimana pemerintah menempatkan dirinya hanya sebagai ‘pembuat
peraturan semata’ dan tidak mengambil tanggung jawab untuk melindungi hak-hak
buruh pada umumnya. Efek yang ditimbulkan itu semakin terasa di dalam situasi
dimana tidak ada Sistem Jaminan Sosial yang memadai di Indonesia. Serta tidak
adanya jaminan kesehatan yang memadai untuk
pekerja buruh untuk mendapatkan kesehatan secara gratis dan memadai.
Padahal pekerja outsourching sangat berperan penting bagi operasional suatu
perusahaan. Pekerja buruh sama-sama saling menguntungkan bagi perusahaan untuk
itu mereka berhak mengemukakan keinginannya untuk menolak upah yang murah.
Karena harga kebutuhan yang semakin meningkat tidak seimbang dengan upah yang
mereka dapatkan. Karena Indonesia adalah negara yang demokratis sangat mudah
bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya agar pendapat mereka didengar
oleh pemerintah untuk menikmati kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.
Sementara itu,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar kembali
menjajikan akan mencabut izin perusahaan penyalur tenaga kerja yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penindakan dan pengawasan
terhadap outsourching harus tegas sesuai dengan kewenangannya. Saya meminta
kepada pemerintah untuk mencabut izin operasional pengerah tenaga outsourching yang
tidak taat pada aturan yang berlaku dengan perundang-undangn kata Muhaimin
Iskandar.
Secara terpisah,
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk mengikuti
regulasi dalam menangani masalah ketenagakerjaan sehingga tidak tunduk begitu
saja terhadap tekanan yang rubuh lewat suatu unjuk rasa.
Para pengusaha
membutuhkan jaminan perlindungan dan penegakan hukum agar mereka bisa
memproduksi dan menciptakan lapangan kerja dengan tenang. Namun pemerintah
harus tegas menghentikan kebijakan populis yang menyesatkan dan tidak mendukung
iklim investasi yang bergerak dalam bidang tersebut.
Penyimpangan
Dalam
praktiknya, pengaturan UUK perihal outsourcing diatas sering menimbulkan beberapa penafsiran yang salah. Setiap
pekerjaan seolah bisa dialihkan, bahkan pekerjaan inti dari sebuah perusahaan tersebut. Selain itu, perlindungan
terhadap pekerja juga sangat minim dan juga kurang mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Maka dari itu, pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT), sehingga ketika kontrak habis maka jalinan hubungan pekerjaan dengan
perusahaan juga akan berakhir, dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk
memberikan kompensasi dan pesangon terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus
diakui sebagai suatu kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya sistem kerja
outssourching. Lalu, konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK harus
segera direvisi agar para pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak di dunia
kerja dan dunia usaha pada umumnya.
Dasar hukumnya
Ada beberapa
peraturan dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang
mengatur hubungan kerja macam itu, yaitu:
UU 13/2003 psl.59 (2):
Perjanjian kerja
paruh waktu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang
dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan
yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu
dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam perusahaan ataupun pekerjaan
yang bukan bersifat musiman.
UU 13/2003 psl.66:
Yang dimaksud dengan kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu
perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi buruh catering, usaha tenaga
pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan
dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan umum.
Dampak yang ditimbulkan
1. Bagi buruh
Diskriminasi
kesempatan kerja bagi mereka yang di luar kelompok usia 18-24 tahun, kesempatan
kerja lebih banyak untuk perempuan, kesempatan kerja pendek, tak ada kompensasi
pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, dan tidak
dapat berserikat. Dalam sistem hubungan kerja kontrak/ Outsourcing,
suatu perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan
pesangon ketika masa kontrak tersebut telah selesai. Kontrak terus-menerus
dengan upah minimum, berarti tidak ada jaminan atas pekerjaan, tidak ada
jaminan atas penghasilan, tidak ada jaminan atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Di Indonesia, hingga saat ini belum terbangun suatu fasilitas
dimana sistem jaminan sosial nasional yang dapat menjadi sandaran ketika seseorang
tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja. Akibatnya, ketika buruh yang
bekerja dengan sistem kontrak/outsorcing tidak dapat bekerja karena diputus
kontraknya, maka matilah sumber penghidupan baginya.
2. Terhadap pengusaha
Urusan ketenagakerjaan
semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam
jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan
pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak
perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir,
mengurangi resiko dan kerugian karena fluktuasi dalam dunia bisnis tersebut.
3. Pemerintah
Terjadi pelanggaran
dan pembiaran pelanggaran terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan
kebebasan berserikat, pasar tenaga kerja mengalami distorsi karena angkatan
kerja harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja di
sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu,
gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang
semakin pendek dan terbatas, penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme
aparat disnaker. Selama ini pada usia 18 – 55 tahun dipandang sebagai usia yang
sangat produktif. Tapi sistem kerja Kontrak/Outsourcing yang
mengutamakan angkatan kerja yang ‘sangat muda’ akan menyebabkan kesempatan
kerja bagi buruh usia >30 tahun makin menyempit. Bila peluang kerja di
sektor formal bagi Angkatan kerja ‘tua’ makin menyempit, maka akan terjadi
ledakan sektor informal yang selama ini pun sudah mendominasi struktur angkatan
kerja Indonesia.
Masalah outsourching masih saja dibicarakan dan tidak adanya kejelasan dari
pemerintah untuk bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi pada sistem
outsourching ini untuk melindungi hak-hak para buruh. Pemerintah seyogyanya
juga harus memberikan hak-hak khusus pada buruh tidak hanya menguntungkan bagi
pihak perusahaan saja tapi juga para pekerja untuk bekerja dengan baik dan
tidak dibatasi oleh suatu kontrak yang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan
sangat merugikan bagi buruh. Semoga pemerintah memberikan suatu solusi atau
alternatif untuk merivisi undang-undang mengenai sistem kerja buruh agar buruh
bisa menikmati kehidupan yang layak dan sejahtera.
Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat...
SUMBER :