Minggu, 21 Oktober 2012

Mengapa Harus Outsourching? (BI SS 2012)



Penerapan sistem outsourching selama ini menempatkan pada posisi pekerja yang tidak dilindungi dan dapat di PHK tanpa alasan dan juga tanpa pesangon yang memadai setelah masa kontrak kerja mereka berakhir. Padahal, secara hukum sebenarnya outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika pun terjadi pengabaian hak-hak terhadap para buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman mengenai outsourching ini terhadap ruang lingkup dunia kerja semakin dapat manfaat dari bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional.  Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan yang berasal dari pemerintah. Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan. 

Ruang lingkup
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan yang terjadi di dalam hubungan perburuhan. Salah satunya perubahan yang cukup penting adalah di izinkannya praktek outsourcing. Outsourching adalah suatu bentuk hubungan kerja sama  yang termasuk dalam kategori Precarious Work, istilah ini biasanya dipakai secara internasional untuk menunjukan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu  yang dibatasi , pekerja lepas, tidak terjamin dan tidak pasti. Praktek seperti ini sepintas terlihat wajar namun mendorong akan terjadinya eksploitasi buruh yang cukup parah. Sayangnya praktek outsourcing ini tidak di imbangi dengan pengawasan-pengawasan yang ketat yang seharusnya pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para buruh. Tuntutan utama para buruh adalah menghapus sistem alih daya dan menolak upah murah/minimum.

Hubungan kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah sebuah praktek dunia kerja dalam hal berbisnis. Namun di Indonesia dan lebih banyak di negara lainnya, praktek ini membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertans dalam kerangka Otonomi Daerah. Tentu saja persoalan ini tidak berdiri sendiri melainkan  situasi ini harus segera dipahami dalam rangka hubungan industrial yang lebih luas dimana pemerintah menempatkan dirinya hanya sebagai ‘pembuat peraturan semata’ dan tidak mengambil tanggung jawab untuk melindungi hak-hak buruh pada umumnya. Efek yang ditimbulkan itu semakin terasa di dalam situasi dimana tidak ada Sistem Jaminan Sosial yang memadai di Indonesia. Serta tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai untuk  pekerja buruh untuk mendapatkan kesehatan secara gratis dan memadai. Padahal pekerja outsourching sangat berperan penting bagi operasional suatu perusahaan. Pekerja buruh sama-sama saling menguntungkan bagi perusahaan untuk itu mereka berhak mengemukakan keinginannya untuk menolak upah yang murah. Karena harga kebutuhan yang semakin meningkat tidak seimbang dengan upah yang mereka dapatkan. Karena Indonesia adalah negara yang demokratis sangat mudah bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya agar pendapat mereka didengar oleh pemerintah untuk menikmati kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. 

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar kembali menjajikan akan mencabut izin perusahaan penyalur tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penindakan dan pengawasan terhadap outsourching harus tegas sesuai dengan kewenangannya. Saya meminta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasional pengerah tenaga outsourching yang tidak taat pada aturan yang berlaku dengan perundang-undangn kata Muhaimin Iskandar.

Secara terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk mengikuti regulasi dalam menangani masalah ketenagakerjaan sehingga tidak tunduk begitu saja terhadap tekanan yang rubuh lewat suatu unjuk rasa.

Para pengusaha membutuhkan jaminan perlindungan dan penegakan hukum agar mereka bisa memproduksi dan menciptakan lapangan kerja dengan tenang. Namun pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan populis yang menyesatkan dan tidak mendukung iklim investasi yang bergerak dalam bidang tersebut.

Penyimpangan
Dalam praktiknya, pengaturan UUK perihal outsourcing diatas sering menimbulkan  beberapa penafsiran yang salah. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihkan, bahkan pekerjaan inti dari  sebuah perusahaan tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim dan juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Maka dari itu, pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga ketika kontrak habis maka jalinan hubungan pekerjaan dengan perusahaan juga akan berakhir, dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kompensasi dan pesangon terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai suatu kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya sistem kerja outssourching. Lalu, konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK harus segera direvisi agar para pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak di dunia kerja dan dunia usaha pada umumnya.

Dasar hukumnya
Ada beberapa peraturan dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang mengatur hubungan kerja macam itu, yaitu:

UU 13/2003 psl.59 (2):
Perjanjian kerja paruh waktu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam perusahaan ataupun pekerjaan yang bukan bersifat musiman.

UU 13/2003 psl.66:
Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan umum.

Dampak yang ditimbulkan

1. Bagi buruh
Diskriminasi kesempatan kerja bagi mereka yang di luar kelompok usia 18-24 tahun, kesempatan kerja lebih banyak untuk perempuan, kesempatan kerja pendek, tak ada kompensasi pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, dan tidak dapat berserikat. Dalam sistem hubungan kerja kontrak/ Outsourcing, suatu perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon ketika masa kontrak tersebut telah selesai. Kontrak terus-menerus dengan upah minimum, berarti tidak ada jaminan atas pekerjaan, tidak ada jaminan atas penghasilan, tidak ada jaminan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di Indonesia, hingga saat ini belum terbangun suatu fasilitas dimana sistem jaminan sosial nasional yang dapat menjadi sandaran ketika seseorang tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja. Akibatnya, ketika buruh yang bekerja dengan sistem kontrak/outsorcing tidak dapat bekerja karena diputus kontraknya, maka matilah sumber penghidupan baginya.

2. Terhadap pengusaha
Urusan ketenagakerjaan semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir, mengurangi resiko dan kerugian karena fluktuasi dalam dunia bisnis tersebut.

3.  Pemerintah
Terjadi pelanggaran dan pembiaran pelanggaran terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan kebebasan berserikat, pasar tenaga kerja mengalami distorsi karena angkatan kerja harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu, gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang semakin pendek dan terbatas, penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme aparat disnaker. Selama ini pada usia 18 – 55 tahun dipandang sebagai usia yang sangat produktif. Tapi sistem kerja Kontrak/Outsourcing yang mengutamakan angkatan kerja yang ‘sangat muda’ akan menyebabkan kesempatan kerja bagi buruh usia >30 tahun makin menyempit. Bila peluang kerja di sektor formal bagi Angkatan kerja ‘tua’ makin menyempit, maka akan terjadi ledakan sektor informal yang selama ini pun sudah mendominasi struktur angkatan kerja Indonesia.

Masalah outsourching masih saja dibicarakan dan tidak adanya kejelasan dari pemerintah untuk bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi pada sistem outsourching ini untuk melindungi hak-hak para buruh. Pemerintah seyogyanya juga harus memberikan hak-hak khusus pada buruh tidak hanya menguntungkan bagi pihak perusahaan saja tapi juga para pekerja untuk bekerja dengan baik dan tidak dibatasi oleh suatu kontrak yang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan sangat merugikan bagi buruh. Semoga pemerintah memberikan suatu solusi atau alternatif untuk merivisi undang-undang mengenai sistem kerja buruh agar buruh bisa menikmati kehidupan yang layak dan sejahtera.
Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat...


SUMBER :

Share on :
Show comments
Hide comments

1 comments:

Sari mengatakan...

Terimakasih artikel nya . . .

ST3Telkom

Posting Komentar



Penerapan sistem outsourching selama ini menempatkan pada posisi pekerja yang tidak dilindungi dan dapat di PHK tanpa alasan dan juga tanpa pesangon yang memadai setelah masa kontrak kerja mereka berakhir. Padahal, secara hukum sebenarnya outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika pun terjadi pengabaian hak-hak terhadap para buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman mengenai outsourching ini terhadap ruang lingkup dunia kerja semakin dapat manfaat dari bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional.  Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan yang berasal dari pemerintah. Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan. 

Ruang lingkup
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan yang terjadi di dalam hubungan perburuhan. Salah satunya perubahan yang cukup penting adalah di izinkannya praktek outsourcing. Outsourching adalah suatu bentuk hubungan kerja sama  yang termasuk dalam kategori Precarious Work, istilah ini biasanya dipakai secara internasional untuk menunjukan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu  yang dibatasi , pekerja lepas, tidak terjamin dan tidak pasti. Praktek seperti ini sepintas terlihat wajar namun mendorong akan terjadinya eksploitasi buruh yang cukup parah. Sayangnya praktek outsourcing ini tidak di imbangi dengan pengawasan-pengawasan yang ketat yang seharusnya pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para buruh. Tuntutan utama para buruh adalah menghapus sistem alih daya dan menolak upah murah/minimum.

Hubungan kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah sebuah praktek dunia kerja dalam hal berbisnis. Namun di Indonesia dan lebih banyak di negara lainnya, praktek ini membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertans dalam kerangka Otonomi Daerah. Tentu saja persoalan ini tidak berdiri sendiri melainkan  situasi ini harus segera dipahami dalam rangka hubungan industrial yang lebih luas dimana pemerintah menempatkan dirinya hanya sebagai ‘pembuat peraturan semata’ dan tidak mengambil tanggung jawab untuk melindungi hak-hak buruh pada umumnya. Efek yang ditimbulkan itu semakin terasa di dalam situasi dimana tidak ada Sistem Jaminan Sosial yang memadai di Indonesia. Serta tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai untuk  pekerja buruh untuk mendapatkan kesehatan secara gratis dan memadai. Padahal pekerja outsourching sangat berperan penting bagi operasional suatu perusahaan. Pekerja buruh sama-sama saling menguntungkan bagi perusahaan untuk itu mereka berhak mengemukakan keinginannya untuk menolak upah yang murah. Karena harga kebutuhan yang semakin meningkat tidak seimbang dengan upah yang mereka dapatkan. Karena Indonesia adalah negara yang demokratis sangat mudah bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya agar pendapat mereka didengar oleh pemerintah untuk menikmati kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. 

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar kembali menjajikan akan mencabut izin perusahaan penyalur tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penindakan dan pengawasan terhadap outsourching harus tegas sesuai dengan kewenangannya. Saya meminta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasional pengerah tenaga outsourching yang tidak taat pada aturan yang berlaku dengan perundang-undangn kata Muhaimin Iskandar.

Secara terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk mengikuti regulasi dalam menangani masalah ketenagakerjaan sehingga tidak tunduk begitu saja terhadap tekanan yang rubuh lewat suatu unjuk rasa.

Para pengusaha membutuhkan jaminan perlindungan dan penegakan hukum agar mereka bisa memproduksi dan menciptakan lapangan kerja dengan tenang. Namun pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan populis yang menyesatkan dan tidak mendukung iklim investasi yang bergerak dalam bidang tersebut.

Penyimpangan
Dalam praktiknya, pengaturan UUK perihal outsourcing diatas sering menimbulkan  beberapa penafsiran yang salah. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihkan, bahkan pekerjaan inti dari  sebuah perusahaan tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim dan juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Maka dari itu, pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga ketika kontrak habis maka jalinan hubungan pekerjaan dengan perusahaan juga akan berakhir, dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kompensasi dan pesangon terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai suatu kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya sistem kerja outssourching. Lalu, konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK harus segera direvisi agar para pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak di dunia kerja dan dunia usaha pada umumnya.

Dasar hukumnya
Ada beberapa peraturan dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang mengatur hubungan kerja macam itu, yaitu:

UU 13/2003 psl.59 (2):
Perjanjian kerja paruh waktu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam perusahaan ataupun pekerjaan yang bukan bersifat musiman.

UU 13/2003 psl.66:
Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan umum.

Dampak yang ditimbulkan

1. Bagi buruh
Diskriminasi kesempatan kerja bagi mereka yang di luar kelompok usia 18-24 tahun, kesempatan kerja lebih banyak untuk perempuan, kesempatan kerja pendek, tak ada kompensasi pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, dan tidak dapat berserikat. Dalam sistem hubungan kerja kontrak/ Outsourcing, suatu perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon ketika masa kontrak tersebut telah selesai. Kontrak terus-menerus dengan upah minimum, berarti tidak ada jaminan atas pekerjaan, tidak ada jaminan atas penghasilan, tidak ada jaminan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di Indonesia, hingga saat ini belum terbangun suatu fasilitas dimana sistem jaminan sosial nasional yang dapat menjadi sandaran ketika seseorang tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja. Akibatnya, ketika buruh yang bekerja dengan sistem kontrak/outsorcing tidak dapat bekerja karena diputus kontraknya, maka matilah sumber penghidupan baginya.

2. Terhadap pengusaha
Urusan ketenagakerjaan semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir, mengurangi resiko dan kerugian karena fluktuasi dalam dunia bisnis tersebut.

3.  Pemerintah
Terjadi pelanggaran dan pembiaran pelanggaran terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan kebebasan berserikat, pasar tenaga kerja mengalami distorsi karena angkatan kerja harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu, gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang semakin pendek dan terbatas, penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme aparat disnaker. Selama ini pada usia 18 – 55 tahun dipandang sebagai usia yang sangat produktif. Tapi sistem kerja Kontrak/Outsourcing yang mengutamakan angkatan kerja yang ‘sangat muda’ akan menyebabkan kesempatan kerja bagi buruh usia >30 tahun makin menyempit. Bila peluang kerja di sektor formal bagi Angkatan kerja ‘tua’ makin menyempit, maka akan terjadi ledakan sektor informal yang selama ini pun sudah mendominasi struktur angkatan kerja Indonesia.

Masalah outsourching masih saja dibicarakan dan tidak adanya kejelasan dari pemerintah untuk bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi pada sistem outsourching ini untuk melindungi hak-hak para buruh. Pemerintah seyogyanya juga harus memberikan hak-hak khusus pada buruh tidak hanya menguntungkan bagi pihak perusahaan saja tapi juga para pekerja untuk bekerja dengan baik dan tidak dibatasi oleh suatu kontrak yang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan sangat merugikan bagi buruh. Semoga pemerintah memberikan suatu solusi atau alternatif untuk merivisi undang-undang mengenai sistem kerja buruh agar buruh bisa menikmati kehidupan yang layak dan sejahtera.
Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat...


SUMBER :



Penerapan sistem outsourching selama ini menempatkan pada posisi pekerja yang tidak dilindungi dan dapat di PHK tanpa alasan dan juga tanpa pesangon yang memadai setelah masa kontrak kerja mereka berakhir. Padahal, secara hukum sebenarnya outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika pun terjadi pengabaian hak-hak terhadap para buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman mengenai outsourching ini terhadap ruang lingkup dunia kerja semakin dapat manfaat dari bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional.  Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan yang berasal dari pemerintah. Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan. 

Ruang lingkup
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan yang terjadi di dalam hubungan perburuhan. Salah satunya perubahan yang cukup penting adalah di izinkannya praktek outsourcing. Outsourching adalah suatu bentuk hubungan kerja sama  yang termasuk dalam kategori Precarious Work, istilah ini biasanya dipakai secara internasional untuk menunjukan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu  yang dibatasi , pekerja lepas, tidak terjamin dan tidak pasti. Praktek seperti ini sepintas terlihat wajar namun mendorong akan terjadinya eksploitasi buruh yang cukup parah. Sayangnya praktek outsourcing ini tidak di imbangi dengan pengawasan-pengawasan yang ketat yang seharusnya pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para buruh. Tuntutan utama para buruh adalah menghapus sistem alih daya dan menolak upah murah/minimum.

Hubungan kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah sebuah praktek dunia kerja dalam hal berbisnis. Namun di Indonesia dan lebih banyak di negara lainnya, praktek ini membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertans dalam kerangka Otonomi Daerah. Tentu saja persoalan ini tidak berdiri sendiri melainkan  situasi ini harus segera dipahami dalam rangka hubungan industrial yang lebih luas dimana pemerintah menempatkan dirinya hanya sebagai ‘pembuat peraturan semata’ dan tidak mengambil tanggung jawab untuk melindungi hak-hak buruh pada umumnya. Efek yang ditimbulkan itu semakin terasa di dalam situasi dimana tidak ada Sistem Jaminan Sosial yang memadai di Indonesia. Serta tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai untuk  pekerja buruh untuk mendapatkan kesehatan secara gratis dan memadai. Padahal pekerja outsourching sangat berperan penting bagi operasional suatu perusahaan. Pekerja buruh sama-sama saling menguntungkan bagi perusahaan untuk itu mereka berhak mengemukakan keinginannya untuk menolak upah yang murah. Karena harga kebutuhan yang semakin meningkat tidak seimbang dengan upah yang mereka dapatkan. Karena Indonesia adalah negara yang demokratis sangat mudah bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya agar pendapat mereka didengar oleh pemerintah untuk menikmati kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. 

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar kembali menjajikan akan mencabut izin perusahaan penyalur tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penindakan dan pengawasan terhadap outsourching harus tegas sesuai dengan kewenangannya. Saya meminta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasional pengerah tenaga outsourching yang tidak taat pada aturan yang berlaku dengan perundang-undangn kata Muhaimin Iskandar.

Secara terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk mengikuti regulasi dalam menangani masalah ketenagakerjaan sehingga tidak tunduk begitu saja terhadap tekanan yang rubuh lewat suatu unjuk rasa.

Para pengusaha membutuhkan jaminan perlindungan dan penegakan hukum agar mereka bisa memproduksi dan menciptakan lapangan kerja dengan tenang. Namun pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan populis yang menyesatkan dan tidak mendukung iklim investasi yang bergerak dalam bidang tersebut.

Penyimpangan
Dalam praktiknya, pengaturan UUK perihal outsourcing diatas sering menimbulkan  beberapa penafsiran yang salah. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihkan, bahkan pekerjaan inti dari  sebuah perusahaan tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim dan juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Maka dari itu, pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga ketika kontrak habis maka jalinan hubungan pekerjaan dengan perusahaan juga akan berakhir, dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kompensasi dan pesangon terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai suatu kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya sistem kerja outssourching. Lalu, konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK harus segera direvisi agar para pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak di dunia kerja dan dunia usaha pada umumnya.

Dasar hukumnya
Ada beberapa peraturan dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang mengatur hubungan kerja macam itu, yaitu:

UU 13/2003 psl.59 (2):
Perjanjian kerja paruh waktu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam perusahaan ataupun pekerjaan yang bukan bersifat musiman.

UU 13/2003 psl.66:
Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan umum.

Dampak yang ditimbulkan

1. Bagi buruh
Diskriminasi kesempatan kerja bagi mereka yang di luar kelompok usia 18-24 tahun, kesempatan kerja lebih banyak untuk perempuan, kesempatan kerja pendek, tak ada kompensasi pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, dan tidak dapat berserikat. Dalam sistem hubungan kerja kontrak/ Outsourcing, suatu perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon ketika masa kontrak tersebut telah selesai. Kontrak terus-menerus dengan upah minimum, berarti tidak ada jaminan atas pekerjaan, tidak ada jaminan atas penghasilan, tidak ada jaminan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di Indonesia, hingga saat ini belum terbangun suatu fasilitas dimana sistem jaminan sosial nasional yang dapat menjadi sandaran ketika seseorang tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja. Akibatnya, ketika buruh yang bekerja dengan sistem kontrak/outsorcing tidak dapat bekerja karena diputus kontraknya, maka matilah sumber penghidupan baginya.

2. Terhadap pengusaha
Urusan ketenagakerjaan semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir, mengurangi resiko dan kerugian karena fluktuasi dalam dunia bisnis tersebut.

3.  Pemerintah
Terjadi pelanggaran dan pembiaran pelanggaran terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan kebebasan berserikat, pasar tenaga kerja mengalami distorsi karena angkatan kerja harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu, gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang semakin pendek dan terbatas, penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme aparat disnaker. Selama ini pada usia 18 – 55 tahun dipandang sebagai usia yang sangat produktif. Tapi sistem kerja Kontrak/Outsourcing yang mengutamakan angkatan kerja yang ‘sangat muda’ akan menyebabkan kesempatan kerja bagi buruh usia >30 tahun makin menyempit. Bila peluang kerja di sektor formal bagi Angkatan kerja ‘tua’ makin menyempit, maka akan terjadi ledakan sektor informal yang selama ini pun sudah mendominasi struktur angkatan kerja Indonesia.

Masalah outsourching masih saja dibicarakan dan tidak adanya kejelasan dari pemerintah untuk bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi pada sistem outsourching ini untuk melindungi hak-hak para buruh. Pemerintah seyogyanya juga harus memberikan hak-hak khusus pada buruh tidak hanya menguntungkan bagi pihak perusahaan saja tapi juga para pekerja untuk bekerja dengan baik dan tidak dibatasi oleh suatu kontrak yang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan sangat merugikan bagi buruh. Semoga pemerintah memberikan suatu solusi atau alternatif untuk merivisi undang-undang mengenai sistem kerja buruh agar buruh bisa menikmati kehidupan yang layak dan sejahtera.
Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat...


SUMBER :



Penerapan sistem outsourching selama ini menempatkan pada posisi pekerja yang tidak dilindungi dan dapat di PHK tanpa alasan dan juga tanpa pesangon yang memadai setelah masa kontrak kerja mereka berakhir. Padahal, secara hukum sebenarnya outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jika pun terjadi pengabaian hak-hak terhadap para buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman mengenai outsourching ini terhadap ruang lingkup dunia kerja semakin dapat manfaat dari bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional.  Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan yang berasal dari pemerintah. Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan. 

Ruang lingkup
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan yang terjadi di dalam hubungan perburuhan. Salah satunya perubahan yang cukup penting adalah di izinkannya praktek outsourcing. Outsourching adalah suatu bentuk hubungan kerja sama  yang termasuk dalam kategori Precarious Work, istilah ini biasanya dipakai secara internasional untuk menunjukan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu  yang dibatasi , pekerja lepas, tidak terjamin dan tidak pasti. Praktek seperti ini sepintas terlihat wajar namun mendorong akan terjadinya eksploitasi buruh yang cukup parah. Sayangnya praktek outsourcing ini tidak di imbangi dengan pengawasan-pengawasan yang ketat yang seharusnya pemerintah dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para buruh. Tuntutan utama para buruh adalah menghapus sistem alih daya dan menolak upah murah/minimum.

Hubungan kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah sebuah praktek dunia kerja dalam hal berbisnis. Namun di Indonesia dan lebih banyak di negara lainnya, praktek ini membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh Disnakertans dalam kerangka Otonomi Daerah. Tentu saja persoalan ini tidak berdiri sendiri melainkan  situasi ini harus segera dipahami dalam rangka hubungan industrial yang lebih luas dimana pemerintah menempatkan dirinya hanya sebagai ‘pembuat peraturan semata’ dan tidak mengambil tanggung jawab untuk melindungi hak-hak buruh pada umumnya. Efek yang ditimbulkan itu semakin terasa di dalam situasi dimana tidak ada Sistem Jaminan Sosial yang memadai di Indonesia. Serta tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai untuk  pekerja buruh untuk mendapatkan kesehatan secara gratis dan memadai. Padahal pekerja outsourching sangat berperan penting bagi operasional suatu perusahaan. Pekerja buruh sama-sama saling menguntungkan bagi perusahaan untuk itu mereka berhak mengemukakan keinginannya untuk menolak upah yang murah. Karena harga kebutuhan yang semakin meningkat tidak seimbang dengan upah yang mereka dapatkan. Karena Indonesia adalah negara yang demokratis sangat mudah bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya agar pendapat mereka didengar oleh pemerintah untuk menikmati kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. 

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar kembali menjajikan akan mencabut izin perusahaan penyalur tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Penindakan dan pengawasan terhadap outsourching harus tegas sesuai dengan kewenangannya. Saya meminta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasional pengerah tenaga outsourching yang tidak taat pada aturan yang berlaku dengan perundang-undangn kata Muhaimin Iskandar.

Secara terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kepada pemerintah untuk mengikuti regulasi dalam menangani masalah ketenagakerjaan sehingga tidak tunduk begitu saja terhadap tekanan yang rubuh lewat suatu unjuk rasa.

Para pengusaha membutuhkan jaminan perlindungan dan penegakan hukum agar mereka bisa memproduksi dan menciptakan lapangan kerja dengan tenang. Namun pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan populis yang menyesatkan dan tidak mendukung iklim investasi yang bergerak dalam bidang tersebut.

Penyimpangan
Dalam praktiknya, pengaturan UUK perihal outsourcing diatas sering menimbulkan  beberapa penafsiran yang salah. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihkan, bahkan pekerjaan inti dari  sebuah perusahaan tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim dan juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Maka dari itu, pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga ketika kontrak habis maka jalinan hubungan pekerjaan dengan perusahaan juga akan berakhir, dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kompensasi dan pesangon terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai suatu kelemahan yang ditimbulkan oleh adanya sistem kerja outssourching. Lalu, konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK harus segera direvisi agar para pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak di dunia kerja dan dunia usaha pada umumnya.

Dasar hukumnya
Ada beberapa peraturan dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang mengatur hubungan kerja macam itu, yaitu:

UU 13/2003 psl.59 (2):
Perjanjian kerja paruh waktu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam perusahaan ataupun pekerjaan yang bukan bersifat musiman.

UU 13/2003 psl.66:
Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan umum.

Dampak yang ditimbulkan

1. Bagi buruh
Diskriminasi kesempatan kerja bagi mereka yang di luar kelompok usia 18-24 tahun, kesempatan kerja lebih banyak untuk perempuan, kesempatan kerja pendek, tak ada kompensasi pada akhir hubungan kerja, kesejahteraan menurun, upah tidak pernah naik, dan tidak dapat berserikat. Dalam sistem hubungan kerja kontrak/ Outsourcing, suatu perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon ketika masa kontrak tersebut telah selesai. Kontrak terus-menerus dengan upah minimum, berarti tidak ada jaminan atas pekerjaan, tidak ada jaminan atas penghasilan, tidak ada jaminan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di Indonesia, hingga saat ini belum terbangun suatu fasilitas dimana sistem jaminan sosial nasional yang dapat menjadi sandaran ketika seseorang tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja. Akibatnya, ketika buruh yang bekerja dengan sistem kontrak/outsorcing tidak dapat bekerja karena diputus kontraknya, maka matilah sumber penghidupan baginya.

2. Terhadap pengusaha
Urusan ketenagakerjaan semakin praktis, biaya tenaga kerja jauh berkurang hingga 20%, biaya tinggi dalam jangka pendek tetapi rendah dalam jangka panjang: membayar management fee dan pesangon dalam rangka pengalihan hubungan kerja tetap menjadi kontrak tetapi tidak perlu memberikan kompensasi dan pensiun ketika hubungan kerja berakhir, mengurangi resiko dan kerugian karena fluktuasi dalam dunia bisnis tersebut.

3.  Pemerintah
Terjadi pelanggaran dan pembiaran pelanggaran terhadap peraturan dan UU mengenai outsourcing dan kebebasan berserikat, pasar tenaga kerja mengalami distorsi karena angkatan kerja harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan, perluasan kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit karena preferensi terhadap kelompok usia tertentu, gejala informalisasi meluas karena kesempatan kerja di sektor formal yang semakin pendek dan terbatas, penurunan wibawa, kompetensi dan profesionalisme aparat disnaker. Selama ini pada usia 18 – 55 tahun dipandang sebagai usia yang sangat produktif. Tapi sistem kerja Kontrak/Outsourcing yang mengutamakan angkatan kerja yang ‘sangat muda’ akan menyebabkan kesempatan kerja bagi buruh usia >30 tahun makin menyempit. Bila peluang kerja di sektor formal bagi Angkatan kerja ‘tua’ makin menyempit, maka akan terjadi ledakan sektor informal yang selama ini pun sudah mendominasi struktur angkatan kerja Indonesia.

Masalah outsourching masih saja dibicarakan dan tidak adanya kejelasan dari pemerintah untuk bertindak tegas atas penyelewengan yang terjadi pada sistem outsourching ini untuk melindungi hak-hak para buruh. Pemerintah seyogyanya juga harus memberikan hak-hak khusus pada buruh tidak hanya menguntungkan bagi pihak perusahaan saja tapi juga para pekerja untuk bekerja dengan baik dan tidak dibatasi oleh suatu kontrak yang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan sangat merugikan bagi buruh. Semoga pemerintah memberikan suatu solusi atau alternatif untuk merivisi undang-undang mengenai sistem kerja buruh agar buruh bisa menikmati kehidupan yang layak dan sejahtera.
Semoga tulisan saya ini dapat bermanfaat...


SUMBER :