Komisi
Pemberantasan Korupsi atau lebih dikenal dengan singkatan KPK adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada
undang-undang Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada saat periode 2006-2011 KPK dipimpin
oleh 4 orang wakil ketuanya yaitu Chandra Matra Hamzah, Bibit Samad Rianto,
Mochammad Jasin, dan Hayono Umar setelah perpu Plt, kemudian KPK ditolak oleh
DPR pada tanggal 25 November 2010,Busyro Muqoddas
terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh DPR dan
sekarang KPK dipimpin oleh Abraham Samad sejak tahun 2011.
Fungsi dan Tugas KPK
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas yaitu :
1. 1. Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
4. Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan
5. Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Dalam
melaksanakan tugas koordinasi, KPK berwenang sebagai berikut :
1. Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus pidana korupsi,
2. Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait,
4. Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak korupsi dan
5. Meminta laporan
instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Revisi Undang-Undang KPK
Mengenai adanya
revisi undang-undang KPK yang disiapkan oleh anggota DPR dinilai sebagai bentuk
nyata untuk memereteli kewenangan yang berada di dalam tubuh KPK tersebut. Situasinya
semakin lama semakin berat setelah pihak polisi dan KPK berselisih dengan
mencuatnya masalah yang sedang dihadapi pihak polri. Semua langkah yang di lakukan
untuk pelemahan tersebut dinilai sebagai tindakan balas dendam terhadap KPK.
Namun kalangan
DPR tampaknya yang paling getol untuk menyuarakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK. Dalam rapat internal Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, bahwa semua fraksi
menyatakan setuju dengan adanya revisi terhadap UU KPK tersebut. Akan tetapi, setelah
publik bersuara mengenai adanya perubahan rencana revisi UU tersebut, sebagian dari
kalangan DPR pun mulai goyah.
Memang anggota
DPR termasuk yang sangat banyak diburu oleh pihak KPK dalam kasus-kasus besar
seperti korupsi. Menurut wakil ketua Busyro Muqaddas, pihak KPK telah meyeret 240
para terdakwa kasus korupsi ke penjara. Banyak diantara kasus-kasus terdakwa
korupsi tersebut itu diseret ke penjara yang merupakan anggota DPR dan anggota
DPRD tersebut.
Kasus-kasus
korupsi yang melibatkan para anggota DPR antara lain pada proyek wisma atlet
SEA Games di Palembang, dana penyesuaian infrastruktrur daerah (DPID) dan
proyek pengadaan Al Quran. Beberapa nama yang terseret dalam kasus korupsi
antara lain Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Zulkarnaen
Djabar dan sejumlah kasus-kasus korupsi yang lainnya.
Pada umumnya
partai memang resah terhadap tindakan dan langkah para pihak KPK untuk menindak
lanjuti kasus-kasus korupsi yang belum terbongkar. Pasalnya, pembiayaan dana politik
partai diduga berasal dari sumber nonfiktif dan itu menjadi target pihak KPK. Anggota
Komisi III DPR mengakui adanya tendensi ‘membonsai’ kewenangan KPK agar tidak
efektif dalam memberantas korupsi.
Upaya pelemahan
KPK disebabkan oleh mengendurnya semangat untuk memberantas tindakan korupsi di
negara kita. Para elite-elite politik yang duduk di suprastruktur dan
infrastruktur politik hampir semuanya berubah dan banyak yang duduk di parlemen
sekarang sudah tidak lagi mengkhayati kekuatan korupsi, kolusi dan nepotisme
yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru sehingga semangat pemberantasan korupsi
tidak terlalu dikhayati lagi. Maka dari itu, orang yang tidak mengkhayati latar
belakang atas berdirinya lembaga KPK itulah yang sekarang banyak berperan di
dalam tubuh politik tersebut.
Sangat ironis
sekali, bahwa sudah banyak para elite politik sekarang yang berpendapat
sebaiknya KPK dibubarkan saja karena langkah-langkah KPK untuk penyadapan sudah
mengkhawatirkan banyak orang yang tidak ingin privasi pribadinya terganggu. Bahkan
pihak KPK beranggapan bahwa kami satu-satunya lembaga di Indonesia yang
memiliki kewenangan penyadapan yang sesuai dengan standar law full dari dunia
internasional.
Pengawasan terhadap
KPK untuk saat ini dibangun oleh beberapa argumen yang mungkin kelihatan wajar
namun dasar argumentasinya masih sangat rendah. Anggota DPR yang mengajukan
revisi UU KPK tak punya spritualitas Orde Reformasi dan salah satu semangat
reformasi itu dengan pemberantasan korupsi harus tuntas.
Sesuai dengan
konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi yang juga diratifikasi Indonesia,
negara juga sangat membutuhkan suatu lembaga independen untuk mengatasi
tindakan korupsi yang bebas dari suatu intervensi dari kekuasaan mana pun.
Untuk merevisi
undang-undang KPK tidaklah benar sebagai langkah DPR untuk memperlemah
kewenangan KPK, karena titik krusial yang hendak direvisi adalah masalah
kekosongan jabatan di dalam tubuh KPK yang belum diatur di dalam undang-undang
yang lama. Persoalan yang sebenarnya bukan pada masalah UU pada KPK melainkan
keberanian, integritas dan visi setiap individu para pemimpin KPK tersebut.