Jumat, 27 Juni 2014

Memahami Peran LPS Melalui Analogi Sepak Bola

Pedoman International Association of Depostit Insures (IADI) menyebutkan tiga hal pokok dalam penerapan sistem penjaminan simpanan. Pertama, penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas. Kedua, program penjaminan disesuaikan dengan kondisi sistem perbankan. Ketiga, penjaminan simpanan menjadi bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety nets/FSN). FSN dibatasi hanya meliputi jaring pengaman sistem perbankan. 

FSN sendiri memiliki peranan untuk mendorong dan mengawasi perbankan untuk mengelola keuangan dengan penuh kehati-hatian (prudent). FSN sendiri bisa menjadi resolusi dan pelaksana penjamin simpanan saat bank gagal menjalankan kewajibannya. FSN bisa menangani krisis saat permasalahaan melanda perbankan. 

Peran FSN tidak pasif. Dia bukan seperti jaring pengaman sirkus yang statis menunggu pemain akrobat jatuh. FSN secara proaktif memelihara stabilitas sistem peebankan karena sumber permasalahannya diidentifikasi sehingga pencegahan permasalahannya dapat dilakukan sejak dini.  

Penyelesaian masalah pun tidak dilakukan hanya pada satu lapis. Jika tidak mampu diselesaikan pada tahap awal, upaya penyelesaian akan dilakukan pada jenjang selanjutnya dan disesuaikan denhan level masalahnya. Hasilnya, jika krisis tidak dapat dicegah atau dihindari, dampak ekonomi dan sosial dapat diminimalisasi. 

FSN dan Sepak Bola 
Penerapan FSN sendiri seperti formasi sepak bola. Selalu ada strategi dalam sebuah tim sepak bola. Apakah sebuah tim hendak bermain bertahan atau menyerang menggunakan satu, dua, atau tiga penyerang dalam bermain, selalu ada posisi tetap yang menjalankan tugasnya masing-masing. Posisi itu adalah penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang), dan kiper. 

Setiap posisi memiliki peran masing-masing. Penyerang punya tugas untuk menjebol gawang saat menyerang dan menjadi pertahanan pertama saat bertahan. Pemain tengah mengatur pola permainan dan menjadi lapisan pertahanan kedua. Pemain belakang tentunya menajdi penahan terakhir, tetapi terkadang bisa membantu penyerangan. Kiper adalah benteng terakhir pertahanan. Semua posisi ini harus dijalankan dengan baik dan saling bekerja sama jika tidak ingin kalah dalam permainan. 

Jika dianalogikan dengan FSN, sistem perbankan kita memiliki fungsinya masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai pemain depan. Dengan perannya untuk mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif, OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai goal (tujuan), yaitu sistem perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan perbaikan yang segera (prompt corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan dapat diatasi pada stadium awal. 

Dibelakang OJK, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai pemain tengah yang mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal. Konkretnya, saat berubah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas peminjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi kita. 

Pada posisi belakang bertahan, disinilah LPS berada. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya  dan melaksanakan resolusi (penyelamatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. 

Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu sebagai pemegang otoritas terhadap fisikal dan koordinator FSN mampu memberikan kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. 

Sesuai UU, LPS mendapat back-up pendanaan dari Pemerintah berupa pinjaman likuiditas dan tambahan modal apabila modal awalnya menjadi kurang dari Rp. 4 triliun. Sebagaimana tim sepak bola, FSN akan berjalan efektif mencapai goal yang diinginkan apabila tiap-tiap pemain atau kelompok pemain dapat berkoordinasi, bekerja sama, saling mendukung, dan memainkan perannya dengan baik. 

Analogi ini tidak bisa dijadikan sebagai pedoman untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tetapi bisa dijadikan gambar untuk mengetahui peran masing-masing. Perbedaannya, ada undang-undang yang mengatur peranan ini agar tidak terjadi overlapping antar lembaga. Dalam FSN, tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari tiap-tiap lembaga/otoritas telah diatur dalam undang-undang sehingga overlapping dapat dicegah.    

sumber : www.kompas.com
 

Share on :
Show comments
Hide comments

0 comments:

Posting Komentar

Pedoman International Association of Depostit Insures (IADI) menyebutkan tiga hal pokok dalam penerapan sistem penjaminan simpanan. Pertama, penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas. Kedua, program penjaminan disesuaikan dengan kondisi sistem perbankan. Ketiga, penjaminan simpanan menjadi bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety nets/FSN). FSN dibatasi hanya meliputi jaring pengaman sistem perbankan. 

FSN sendiri memiliki peranan untuk mendorong dan mengawasi perbankan untuk mengelola keuangan dengan penuh kehati-hatian (prudent). FSN sendiri bisa menjadi resolusi dan pelaksana penjamin simpanan saat bank gagal menjalankan kewajibannya. FSN bisa menangani krisis saat permasalahaan melanda perbankan. 

Peran FSN tidak pasif. Dia bukan seperti jaring pengaman sirkus yang statis menunggu pemain akrobat jatuh. FSN secara proaktif memelihara stabilitas sistem peebankan karena sumber permasalahannya diidentifikasi sehingga pencegahan permasalahannya dapat dilakukan sejak dini.  

Penyelesaian masalah pun tidak dilakukan hanya pada satu lapis. Jika tidak mampu diselesaikan pada tahap awal, upaya penyelesaian akan dilakukan pada jenjang selanjutnya dan disesuaikan denhan level masalahnya. Hasilnya, jika krisis tidak dapat dicegah atau dihindari, dampak ekonomi dan sosial dapat diminimalisasi. 

FSN dan Sepak Bola 
Penerapan FSN sendiri seperti formasi sepak bola. Selalu ada strategi dalam sebuah tim sepak bola. Apakah sebuah tim hendak bermain bertahan atau menyerang menggunakan satu, dua, atau tiga penyerang dalam bermain, selalu ada posisi tetap yang menjalankan tugasnya masing-masing. Posisi itu adalah penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang), dan kiper. 

Setiap posisi memiliki peran masing-masing. Penyerang punya tugas untuk menjebol gawang saat menyerang dan menjadi pertahanan pertama saat bertahan. Pemain tengah mengatur pola permainan dan menjadi lapisan pertahanan kedua. Pemain belakang tentunya menajdi penahan terakhir, tetapi terkadang bisa membantu penyerangan. Kiper adalah benteng terakhir pertahanan. Semua posisi ini harus dijalankan dengan baik dan saling bekerja sama jika tidak ingin kalah dalam permainan. 

Jika dianalogikan dengan FSN, sistem perbankan kita memiliki fungsinya masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai pemain depan. Dengan perannya untuk mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif, OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai goal (tujuan), yaitu sistem perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan perbaikan yang segera (prompt corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan dapat diatasi pada stadium awal. 

Dibelakang OJK, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai pemain tengah yang mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal. Konkretnya, saat berubah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas peminjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi kita. 

Pada posisi belakang bertahan, disinilah LPS berada. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya  dan melaksanakan resolusi (penyelamatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. 

Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu sebagai pemegang otoritas terhadap fisikal dan koordinator FSN mampu memberikan kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. 

Sesuai UU, LPS mendapat back-up pendanaan dari Pemerintah berupa pinjaman likuiditas dan tambahan modal apabila modal awalnya menjadi kurang dari Rp. 4 triliun. Sebagaimana tim sepak bola, FSN akan berjalan efektif mencapai goal yang diinginkan apabila tiap-tiap pemain atau kelompok pemain dapat berkoordinasi, bekerja sama, saling mendukung, dan memainkan perannya dengan baik. 

Analogi ini tidak bisa dijadikan sebagai pedoman untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tetapi bisa dijadikan gambar untuk mengetahui peran masing-masing. Perbedaannya, ada undang-undang yang mengatur peranan ini agar tidak terjadi overlapping antar lembaga. Dalam FSN, tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari tiap-tiap lembaga/otoritas telah diatur dalam undang-undang sehingga overlapping dapat dicegah.    

sumber : www.kompas.com
 

Pedoman International Association of Depostit Insures (IADI) menyebutkan tiga hal pokok dalam penerapan sistem penjaminan simpanan. Pertama, penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas. Kedua, program penjaminan disesuaikan dengan kondisi sistem perbankan. Ketiga, penjaminan simpanan menjadi bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety nets/FSN). FSN dibatasi hanya meliputi jaring pengaman sistem perbankan. 

FSN sendiri memiliki peranan untuk mendorong dan mengawasi perbankan untuk mengelola keuangan dengan penuh kehati-hatian (prudent). FSN sendiri bisa menjadi resolusi dan pelaksana penjamin simpanan saat bank gagal menjalankan kewajibannya. FSN bisa menangani krisis saat permasalahaan melanda perbankan. 

Peran FSN tidak pasif. Dia bukan seperti jaring pengaman sirkus yang statis menunggu pemain akrobat jatuh. FSN secara proaktif memelihara stabilitas sistem peebankan karena sumber permasalahannya diidentifikasi sehingga pencegahan permasalahannya dapat dilakukan sejak dini.  

Penyelesaian masalah pun tidak dilakukan hanya pada satu lapis. Jika tidak mampu diselesaikan pada tahap awal, upaya penyelesaian akan dilakukan pada jenjang selanjutnya dan disesuaikan denhan level masalahnya. Hasilnya, jika krisis tidak dapat dicegah atau dihindari, dampak ekonomi dan sosial dapat diminimalisasi. 

FSN dan Sepak Bola 
Penerapan FSN sendiri seperti formasi sepak bola. Selalu ada strategi dalam sebuah tim sepak bola. Apakah sebuah tim hendak bermain bertahan atau menyerang menggunakan satu, dua, atau tiga penyerang dalam bermain, selalu ada posisi tetap yang menjalankan tugasnya masing-masing. Posisi itu adalah penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang), dan kiper. 

Setiap posisi memiliki peran masing-masing. Penyerang punya tugas untuk menjebol gawang saat menyerang dan menjadi pertahanan pertama saat bertahan. Pemain tengah mengatur pola permainan dan menjadi lapisan pertahanan kedua. Pemain belakang tentunya menajdi penahan terakhir, tetapi terkadang bisa membantu penyerangan. Kiper adalah benteng terakhir pertahanan. Semua posisi ini harus dijalankan dengan baik dan saling bekerja sama jika tidak ingin kalah dalam permainan. 

Jika dianalogikan dengan FSN, sistem perbankan kita memiliki fungsinya masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai pemain depan. Dengan perannya untuk mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif, OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai goal (tujuan), yaitu sistem perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan perbaikan yang segera (prompt corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan dapat diatasi pada stadium awal. 

Dibelakang OJK, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai pemain tengah yang mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal. Konkretnya, saat berubah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas peminjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi kita. 

Pada posisi belakang bertahan, disinilah LPS berada. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya  dan melaksanakan resolusi (penyelamatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. 

Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu sebagai pemegang otoritas terhadap fisikal dan koordinator FSN mampu memberikan kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. 

Sesuai UU, LPS mendapat back-up pendanaan dari Pemerintah berupa pinjaman likuiditas dan tambahan modal apabila modal awalnya menjadi kurang dari Rp. 4 triliun. Sebagaimana tim sepak bola, FSN akan berjalan efektif mencapai goal yang diinginkan apabila tiap-tiap pemain atau kelompok pemain dapat berkoordinasi, bekerja sama, saling mendukung, dan memainkan perannya dengan baik. 

Analogi ini tidak bisa dijadikan sebagai pedoman untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tetapi bisa dijadikan gambar untuk mengetahui peran masing-masing. Perbedaannya, ada undang-undang yang mengatur peranan ini agar tidak terjadi overlapping antar lembaga. Dalam FSN, tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari tiap-tiap lembaga/otoritas telah diatur dalam undang-undang sehingga overlapping dapat dicegah.    

sumber : www.kompas.com
 

Pedoman International Association of Depostit Insures (IADI) menyebutkan tiga hal pokok dalam penerapan sistem penjaminan simpanan. Pertama, penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas. Kedua, program penjaminan disesuaikan dengan kondisi sistem perbankan. Ketiga, penjaminan simpanan menjadi bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety nets/FSN). FSN dibatasi hanya meliputi jaring pengaman sistem perbankan. 

FSN sendiri memiliki peranan untuk mendorong dan mengawasi perbankan untuk mengelola keuangan dengan penuh kehati-hatian (prudent). FSN sendiri bisa menjadi resolusi dan pelaksana penjamin simpanan saat bank gagal menjalankan kewajibannya. FSN bisa menangani krisis saat permasalahaan melanda perbankan. 

Peran FSN tidak pasif. Dia bukan seperti jaring pengaman sirkus yang statis menunggu pemain akrobat jatuh. FSN secara proaktif memelihara stabilitas sistem peebankan karena sumber permasalahannya diidentifikasi sehingga pencegahan permasalahannya dapat dilakukan sejak dini.  

Penyelesaian masalah pun tidak dilakukan hanya pada satu lapis. Jika tidak mampu diselesaikan pada tahap awal, upaya penyelesaian akan dilakukan pada jenjang selanjutnya dan disesuaikan denhan level masalahnya. Hasilnya, jika krisis tidak dapat dicegah atau dihindari, dampak ekonomi dan sosial dapat diminimalisasi. 

FSN dan Sepak Bola 
Penerapan FSN sendiri seperti formasi sepak bola. Selalu ada strategi dalam sebuah tim sepak bola. Apakah sebuah tim hendak bermain bertahan atau menyerang menggunakan satu, dua, atau tiga penyerang dalam bermain, selalu ada posisi tetap yang menjalankan tugasnya masing-masing. Posisi itu adalah penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang), dan kiper. 

Setiap posisi memiliki peran masing-masing. Penyerang punya tugas untuk menjebol gawang saat menyerang dan menjadi pertahanan pertama saat bertahan. Pemain tengah mengatur pola permainan dan menjadi lapisan pertahanan kedua. Pemain belakang tentunya menajdi penahan terakhir, tetapi terkadang bisa membantu penyerangan. Kiper adalah benteng terakhir pertahanan. Semua posisi ini harus dijalankan dengan baik dan saling bekerja sama jika tidak ingin kalah dalam permainan. 

Jika dianalogikan dengan FSN, sistem perbankan kita memiliki fungsinya masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai pemain depan. Dengan perannya untuk mengatur dan mengawasi mikroprudensial dengan kuat dan efektif, OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai goal (tujuan), yaitu sistem perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan perbaikan yang segera (prompt corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan dapat diatasi pada stadium awal. 

Dibelakang OJK, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai pemain tengah yang mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif bagi industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal. Konkretnya, saat berubah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan fasilitas peminjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi kita. 

Pada posisi belakang bertahan, disinilah LPS berada. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya  dan melaksanakan resolusi (penyelamatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. 

Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu sebagai pemegang otoritas terhadap fisikal dan koordinator FSN mampu memberikan kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. 

Sesuai UU, LPS mendapat back-up pendanaan dari Pemerintah berupa pinjaman likuiditas dan tambahan modal apabila modal awalnya menjadi kurang dari Rp. 4 triliun. Sebagaimana tim sepak bola, FSN akan berjalan efektif mencapai goal yang diinginkan apabila tiap-tiap pemain atau kelompok pemain dapat berkoordinasi, bekerja sama, saling mendukung, dan memainkan perannya dengan baik. 

Analogi ini tidak bisa dijadikan sebagai pedoman untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya, tetapi bisa dijadikan gambar untuk mengetahui peran masing-masing. Perbedaannya, ada undang-undang yang mengatur peranan ini agar tidak terjadi overlapping antar lembaga. Dalam FSN, tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari tiap-tiap lembaga/otoritas telah diatur dalam undang-undang sehingga overlapping dapat dicegah.    

sumber : www.kompas.com