Minggu, 17 Februari 2013

KEBEBASAN TERANCAM (BI SS 2013)

40 Pasal RUU Keamanan Nasional Bermasalah

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Formulasi RUU dinilai tidak baik dan 40 pasal di antaranya bisa mengancam kebebasan warga. Secara filosofis, tidak ada argumen kuat yang mengharuskan DPR menyetujui RUU Kamnas disahkan tahun ini. Selain sudah banyak aturan yang mengatur sektor keamanan, kekosongan hukum tentang aturan kerja sama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) seharusnya di selesaikan dengan undang-undang tentang perbantuan. Tujuan mengkoneksikan semua sektor keamanan tidak tercapai. Malah yang akan timbul itu daerah abu-abu. Lewat pasal 20 dan 28 yang mengenai kepolisian daerah justru tidak di masukkan dalam unsur keamanan nasional di daerah. Justru, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang masuk. Selain itu, status tertib sipil yang merupakan realitas keseharian normal yang sudah diatur dengan berbagai peraturan dan undang-undang malah diatur kewenangannya oleh Presiden dengan mengerahkan TNI di dalamnya. Kalau benar, berarti pendekatan keamanan yang berlebihan, bisa buruk efeknya bagi warga negara. Dimasukannya keamanan Insani dan hak asasi manusia menjadi pertanyaan. Karena menunjukkan dari formulasi RUU tersebut, tampak bahwa konsep keamanan individu hanya dijiplak. Tidak ada konsep keamanan individu di draf akademis dan formulasinya menggunakan bahasa Inggris. Ham sebagai pertimbangan justru tidak dimasukkan. Disini tampak sekali ada ketidakberimbangan dari pemerintah yang ingin memaksakan pengetatan keamanan ke dalam negeri, namun sementara aturan berkaitan dengan hak dasar warga dan pengawasan terhadap militer tidak di atur. Pemerintah juga menolak meratifikasi konvensi PBB tentang penghilangan paksa dan Statuta Roma tentang pengadilan Internasional.

Beberapa Pasal Kontroversi :
  • Jenis dan bentuk ancaman di tentukan oleh peraturan Presiden (Pasal 17)
  • Pemogokan massal, kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi dianggap sebagai bentuk ancaman sosial ( Pasal 17 ayat 2)
  • Wewenang Dewan Keamanan Nasional mulai dari membuat ketetapan hingga mengendalikan keamanan (Pasal 25)
  • Presiden memiliki kewenangan mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa pertimbangan parlemen (Pasal 30)
  • Penanggulangan ancaman dilaksanakan berdasar keputusan Presiden atas saran Dewan Keamanan Nasional (Pasal 37)

Alasan Penolakan :
  • Mengancam kebebasan parlemen dalam membuat UU
  • Multitafsir ancaman keamanan nasional
  • Mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi
  • Kewenangan terlalu luas
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan
  • Tumpang tindih aturan
  • Beretentangan dengan sejumlah undang-undang lain tentang keamanan nasional, seperti UU TNI, UU Kepolisian, dan UU Intelijen
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan

Sumber : www.kompas.com

Share on :
Show comments
Hide comments

0 comments:

Posting Komentar

40 Pasal RUU Keamanan Nasional Bermasalah

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Formulasi RUU dinilai tidak baik dan 40 pasal di antaranya bisa mengancam kebebasan warga. Secara filosofis, tidak ada argumen kuat yang mengharuskan DPR menyetujui RUU Kamnas disahkan tahun ini. Selain sudah banyak aturan yang mengatur sektor keamanan, kekosongan hukum tentang aturan kerja sama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) seharusnya di selesaikan dengan undang-undang tentang perbantuan. Tujuan mengkoneksikan semua sektor keamanan tidak tercapai. Malah yang akan timbul itu daerah abu-abu. Lewat pasal 20 dan 28 yang mengenai kepolisian daerah justru tidak di masukkan dalam unsur keamanan nasional di daerah. Justru, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang masuk. Selain itu, status tertib sipil yang merupakan realitas keseharian normal yang sudah diatur dengan berbagai peraturan dan undang-undang malah diatur kewenangannya oleh Presiden dengan mengerahkan TNI di dalamnya. Kalau benar, berarti pendekatan keamanan yang berlebihan, bisa buruk efeknya bagi warga negara. Dimasukannya keamanan Insani dan hak asasi manusia menjadi pertanyaan. Karena menunjukkan dari formulasi RUU tersebut, tampak bahwa konsep keamanan individu hanya dijiplak. Tidak ada konsep keamanan individu di draf akademis dan formulasinya menggunakan bahasa Inggris. Ham sebagai pertimbangan justru tidak dimasukkan. Disini tampak sekali ada ketidakberimbangan dari pemerintah yang ingin memaksakan pengetatan keamanan ke dalam negeri, namun sementara aturan berkaitan dengan hak dasar warga dan pengawasan terhadap militer tidak di atur. Pemerintah juga menolak meratifikasi konvensi PBB tentang penghilangan paksa dan Statuta Roma tentang pengadilan Internasional.

Beberapa Pasal Kontroversi :
  • Jenis dan bentuk ancaman di tentukan oleh peraturan Presiden (Pasal 17)
  • Pemogokan massal, kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi dianggap sebagai bentuk ancaman sosial ( Pasal 17 ayat 2)
  • Wewenang Dewan Keamanan Nasional mulai dari membuat ketetapan hingga mengendalikan keamanan (Pasal 25)
  • Presiden memiliki kewenangan mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa pertimbangan parlemen (Pasal 30)
  • Penanggulangan ancaman dilaksanakan berdasar keputusan Presiden atas saran Dewan Keamanan Nasional (Pasal 37)

Alasan Penolakan :
  • Mengancam kebebasan parlemen dalam membuat UU
  • Multitafsir ancaman keamanan nasional
  • Mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi
  • Kewenangan terlalu luas
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan
  • Tumpang tindih aturan
  • Beretentangan dengan sejumlah undang-undang lain tentang keamanan nasional, seperti UU TNI, UU Kepolisian, dan UU Intelijen
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan

Sumber : www.kompas.com

40 Pasal RUU Keamanan Nasional Bermasalah

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Formulasi RUU dinilai tidak baik dan 40 pasal di antaranya bisa mengancam kebebasan warga. Secara filosofis, tidak ada argumen kuat yang mengharuskan DPR menyetujui RUU Kamnas disahkan tahun ini. Selain sudah banyak aturan yang mengatur sektor keamanan, kekosongan hukum tentang aturan kerja sama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) seharusnya di selesaikan dengan undang-undang tentang perbantuan. Tujuan mengkoneksikan semua sektor keamanan tidak tercapai. Malah yang akan timbul itu daerah abu-abu. Lewat pasal 20 dan 28 yang mengenai kepolisian daerah justru tidak di masukkan dalam unsur keamanan nasional di daerah. Justru, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang masuk. Selain itu, status tertib sipil yang merupakan realitas keseharian normal yang sudah diatur dengan berbagai peraturan dan undang-undang malah diatur kewenangannya oleh Presiden dengan mengerahkan TNI di dalamnya. Kalau benar, berarti pendekatan keamanan yang berlebihan, bisa buruk efeknya bagi warga negara. Dimasukannya keamanan Insani dan hak asasi manusia menjadi pertanyaan. Karena menunjukkan dari formulasi RUU tersebut, tampak bahwa konsep keamanan individu hanya dijiplak. Tidak ada konsep keamanan individu di draf akademis dan formulasinya menggunakan bahasa Inggris. Ham sebagai pertimbangan justru tidak dimasukkan. Disini tampak sekali ada ketidakberimbangan dari pemerintah yang ingin memaksakan pengetatan keamanan ke dalam negeri, namun sementara aturan berkaitan dengan hak dasar warga dan pengawasan terhadap militer tidak di atur. Pemerintah juga menolak meratifikasi konvensi PBB tentang penghilangan paksa dan Statuta Roma tentang pengadilan Internasional.

Beberapa Pasal Kontroversi :
  • Jenis dan bentuk ancaman di tentukan oleh peraturan Presiden (Pasal 17)
  • Pemogokan massal, kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi dianggap sebagai bentuk ancaman sosial ( Pasal 17 ayat 2)
  • Wewenang Dewan Keamanan Nasional mulai dari membuat ketetapan hingga mengendalikan keamanan (Pasal 25)
  • Presiden memiliki kewenangan mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa pertimbangan parlemen (Pasal 30)
  • Penanggulangan ancaman dilaksanakan berdasar keputusan Presiden atas saran Dewan Keamanan Nasional (Pasal 37)

Alasan Penolakan :
  • Mengancam kebebasan parlemen dalam membuat UU
  • Multitafsir ancaman keamanan nasional
  • Mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi
  • Kewenangan terlalu luas
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan
  • Tumpang tindih aturan
  • Beretentangan dengan sejumlah undang-undang lain tentang keamanan nasional, seperti UU TNI, UU Kepolisian, dan UU Intelijen
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan

Sumber : www.kompas.com

40 Pasal RUU Keamanan Nasional Bermasalah

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Formulasi RUU dinilai tidak baik dan 40 pasal di antaranya bisa mengancam kebebasan warga. Secara filosofis, tidak ada argumen kuat yang mengharuskan DPR menyetujui RUU Kamnas disahkan tahun ini. Selain sudah banyak aturan yang mengatur sektor keamanan, kekosongan hukum tentang aturan kerja sama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri) seharusnya di selesaikan dengan undang-undang tentang perbantuan. Tujuan mengkoneksikan semua sektor keamanan tidak tercapai. Malah yang akan timbul itu daerah abu-abu. Lewat pasal 20 dan 28 yang mengenai kepolisian daerah justru tidak di masukkan dalam unsur keamanan nasional di daerah. Justru, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) yang masuk. Selain itu, status tertib sipil yang merupakan realitas keseharian normal yang sudah diatur dengan berbagai peraturan dan undang-undang malah diatur kewenangannya oleh Presiden dengan mengerahkan TNI di dalamnya. Kalau benar, berarti pendekatan keamanan yang berlebihan, bisa buruk efeknya bagi warga negara. Dimasukannya keamanan Insani dan hak asasi manusia menjadi pertanyaan. Karena menunjukkan dari formulasi RUU tersebut, tampak bahwa konsep keamanan individu hanya dijiplak. Tidak ada konsep keamanan individu di draf akademis dan formulasinya menggunakan bahasa Inggris. Ham sebagai pertimbangan justru tidak dimasukkan. Disini tampak sekali ada ketidakberimbangan dari pemerintah yang ingin memaksakan pengetatan keamanan ke dalam negeri, namun sementara aturan berkaitan dengan hak dasar warga dan pengawasan terhadap militer tidak di atur. Pemerintah juga menolak meratifikasi konvensi PBB tentang penghilangan paksa dan Statuta Roma tentang pengadilan Internasional.

Beberapa Pasal Kontroversi :
  • Jenis dan bentuk ancaman di tentukan oleh peraturan Presiden (Pasal 17)
  • Pemogokan massal, kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi dianggap sebagai bentuk ancaman sosial ( Pasal 17 ayat 2)
  • Wewenang Dewan Keamanan Nasional mulai dari membuat ketetapan hingga mengendalikan keamanan (Pasal 25)
  • Presiden memiliki kewenangan mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa pertimbangan parlemen (Pasal 30)
  • Penanggulangan ancaman dilaksanakan berdasar keputusan Presiden atas saran Dewan Keamanan Nasional (Pasal 37)

Alasan Penolakan :
  • Mengancam kebebasan parlemen dalam membuat UU
  • Multitafsir ancaman keamanan nasional
  • Mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi
  • Kewenangan terlalu luas
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan
  • Tumpang tindih aturan
  • Beretentangan dengan sejumlah undang-undang lain tentang keamanan nasional, seperti UU TNI, UU Kepolisian, dan UU Intelijen
  • Potensi penyalahgunaan kekuasaan

Sumber : www.kompas.com